Judul: Festival Hujan
Penulis: Nurunala
Editor: Trian Lesmana
Sampul: Withly
Penerbit: Grasindo
Terbit: Desember 2023
Tebal: 200 hlm.
ISBN: 9786020530482
Setelah dua tahun berpacaran, Tahta memutuskan hubungan dengan Rania tanpa penjelasan yang tuntas. Di tengah Rania meratapi nasibnya, kemunculan pemuda yang mengontrak ruko di depan rumahnya menjadi momen untuk move on.
Tama, pemuda tadi, membuka Tokko Bukku dan berkatnya Rania mulai suka membaca novel. Tama juga pendengar yang baik, dan kedekatan mereka memunculkan harapan baru yang perlahan memupus kesedihan sebelumnya. Tetapi, selama ini hanya Rania yang lebih banyak bercerita, dan ia pun sadar tidak mengenal Tama sebaik yang seharusnya.
***
Nurunala menjadi nama penulis yang cukup berkesan buat saya setelah membaca novel sebelumnya berjudul Seribu Wajah Ayah. Mau tak mau ekspektasi itu melekat juga waktu saya membaca novel ini.
Novel ini memiliki tema percintaan yang membahas soal konflik patah hati dan proses move on. Ceritanya akan sangat relate dengan anak muda yang masih kuliah. Penulis menggambarkan fase-fase yang terjadi selama seminggu setelah putus. Dan kalau menilik apa yang dialami Rania, saran yang menyebutkan kalau mau melupakan mantan harus punya pacar baru, ada benarnya juga.
Inti sebenarnya dari saran tadi adalah bagaimana cara kita mengalihkan pikiran dari mengingat mantan. Dan jalannya yaitu dengan melakukan banyak aktifitas agar kita tidak terjebak di momen melamun. Keberadaan sahabat di saat patah hati juga bisa sangat membantu proses move on. Kalau tidak ada yang memaksa untuk bangkit, orang yang patah hati akan lebih senang meratapi nasibnya di kamar dan tangan sahabat bisa berperan untuk itu.
Di sini juga kita akan mendapatkan konflik keluarga terutama soal perceraian orang tua dan apa efeknya bagi anak. Alasan yang bikin orang tua Rania pisah itu umum banget, tak lain soal ekonomi. Makanya di tengah masyarakat sudah bukan rahasia lagi kalau soal ekonomi jadi penyebab utama kenapa pasangan bisa memutuskan cerai.
Yang kadang luput dari keputusan cerai adalah efek yang timbul bagi anak. Meski seorang anak kelihatan bisa menerima keputusan cerai orang tuanya, bukan berarti ia tidak terluka. Bahkan ketika sudah agak dewasaan, si anak akan mencari sendiri siapa yang salah hingga orang tuanya pisah. Karena itu, ketika melakukan perceraian, orang tua harus bisa menyampaikan dengan bijak alasan yang membuat mereka pisah agar si anak tidak membatin.
Pemilihan judul mengandung kata 'hujan' membuat kita akan menduga kalau kisah di novel ini bakal sendu banget. Dan saya setuju dengan dugaan itu, konflik di novel ini berpotensi menguras air mata. Tetapi, saya tidak mendapatkan rasa sedih itu seperti ketika membaca novel Seribu Wajah Ayah. Dugaan saya karena penulis memilih menggali emosi lebih banyak di konflik putus cinta dan bukan menggali emosi soal apa yang dirasakan orang tua ketika anaknya putus cinta. Inti cerita begini sudah banyak dipakai penulis lain jadi kita sudah hafal kalau alurnya ya soal berjuang agar bisa move on. Dan untuk pembaca itu bukan sesuatu yang mengesankan lagi.
Soal pandemi pun tidak digambarkan sebagai sesuatu yang mencekam padahal ini bisa jadi penambah kesenduan bagi Rania. Dan saya merasa kalau situasi pandemi ini hanya sisipan semata, bukan situasi yang bisa diolah terutama soal kesuntukan masyarakat menghadapi ketidakpastian dengan musibah.
Sedikit menyenangkan saya ketika unsur literasi dipakai pada ceritanya. Selain ada toko buku, penulis juga menyebutkan beberapa judul novel dan kata-kata bagus di dalamnya. Disayangkan karena penulis memilih novel yang sudah terkenal seperti novel Haruki Murakami, Dee dan Tere Liye, dan bagi saya yang sudah membacanya tidak cukup terkesan dengan yang ditemukan Tama dan Rania.
Akan lebih menarik kalau penulis memilih novel yang tidak begitu terkenal tapi bisa dilihat sisi bagusnya sesuai penilaian Tama. Pasti akan membuat pembaca novel ini berburu novel yang disebutkan, sebagai pembuktian apa iya novelnya sebagus itu.
Untuk karakter di sini, saya tidak bisa memilih yang paling disukai. Tadinya saya mau memilih Rania dan Biah, tapi setelah membaca bagian mereka bertengkar gara-gara Tama, saya memutuskan tidak mau. Momen itu aneh sih, saya merasanya pertengkaran mereka terjadi dengan tiba-tiba dan diselesaikan dengan cepat pula.
Karakter Tama pun yang awalnya baik sekali harus dihancurkan dengan kenyataan yang ia sembunyikan. Bahkan cara dia berpikir soal hubungannya dengan Rania, tak lain seperti bajingan karena tidak tegas dan tidak mau rugi.
Secara keseluruhan, novel Festival Hujan ini bisa jadi bacaan yang bagus pas hujan sedang turun. Dan mungkin bakal cukup mengaduk-aduk emosi untuk pembaca yang belum baca novel Seribu Wajah Ayah.
Sekian ulasan saya kali ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!
Aku kok kurang cocok sama gaya nulisnya di novel seribu wajah ayah ya. Terkesan menggurui gitu.
BalasHapusAku punya novel lamanya yang maharani, tapi belum kubaca. Jadi penasaran sama novel yang terbaru ini, bakal bagus atau ga ya
Mungkin yang bikin saya suka dengan novel Seribu Wajah Ayah karena saya dan karakter di novelnya, sama-sama pria dewasa, yang ngalamain problem kurang lebih serupa. Jadi kayak yang relate banget, hehe.
HapusWah, saya belum sempat cek karya beliau apa saja. Semoga ke depannya saya bisa mencoba baca novel atau karya lainnya.
Patah hati gara" putus pacaran memang nelongso, kalo gak di alihkan bakalan melamun berkepanjangan:D, tapi memang gitu sih realitanya, hehe..boleh sedih asal gak kelamaan, rugi donk buang waktu demi orang yang gak jelas, menarik kayaknya nih novelnya , kejadian yang umum dan sering terjadi di sekitar kita, memang soal cinta pas banget kalo di bikin cerita.
BalasHapusBener Mbak, pas patah hati kayaknya tuh pengennya meratapi. Padahal sakit banget di dada tapi enggak bisa berhenti memikirkan nasib. Saya sendiri pernah baru bisa move on setelah setahun kemudian.
HapusTema cinta yang dijadikan cerita novel memang enggak ada habis-habisnya, padahal konfliknya pasti sekitaran situ aja. Tapi seru bacanya, hehe
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWah terima kasih Kak, padahal saya meresensi pun rada rubah-rubah tergantung mood. Apalagi kalau kemampuan meresensinya lagi down, subhanallah banget enggak jadi-jadi tulisannya.
HapusKadang begitu Kak, harapan adakalanya enggak bisa diwujudkan. Tapi tetap harus termotivasi untuk menulis lebih banyak, lebih manfaat, lebih menghibur, lebih orisinal. Saya suka baca artikel blog Kak Nita karena bener-bener keseharian penulisnya. Seneng aja mengikuti kehidupan orang lain. Bahkan resep-resepnya bisa dipraktikan pas lagi pengen masak, hehe.