Judul: The Mocha Eyes
Penulis: Aida M. A.
Penyunting: Laurensia Nita
Sampul: Bara Umar Birru
Penerbit: Penerbit Bentang
Terbit: Mei 2013, cetakan pertama
Tebal: x + 250 hlm.
ISBN: 9786027888326
Nilai: 4/5 bintang
Komposisi: Cinta, Kejujuran, Kelembutan, Perubahan, dan Moka
Cara penyajian: Tuangkan kejujuran, kelembutan, perubahan, dan moka ke dalam cangkir. Tambahkan 180 cc air cinta, aduk, dan sajikan.
Kehadiranmu menjadi hal yang kutunggu. Kusesap kelembutanmu dengan senyuman, menafikan sedikit pahit karena ternyata terasa manis. Kamu dan aku seperti dua hal yang terlihat senada, tetapi berbeda. Karena aku justru menemukanmu dalam sepotong cinta.
Ya, menunggumu bersatu denganku, seperti mencari rasa cokelat dalam secangkir mochacccino. Karena aku tak akan merasakan manis dalam setiap hal yang tergesa-gesa, kecuali semuanya tiba-tiba menghilang.
Novel The Mocha Eyes ini menceritakan seorang gadis bernama Muara yang karakternya berubah setelah ia diperkosa oleh salah satu kenalan di kampusnya. musibah itu pun menjadi pukulan berat bagi ayahnya sehingga kabar itu membuatnya syok dan meninggal. Muara menanggung beban berat, selain kehormatannya direnggut, ia pun merasa menjadi penyebab ayahnya meninggal.
Butuh waktu berbulan-bulan bagi Muara untuk kembali menjalani hari-harinya. Dan ketika ia sudah membuka hati kepada Damar, lagi-lagi Muara harus menelan kepahitan dengan diputuskan pacarnya dengan alasan sikapnya yang begitu dingin.
Muara bertambah skeptis kepada kehidupan. Malam hari sulit untuk tidur sebab mimpi buruk itu selalu datang. Sehingga Muara kerap terlambat masuk kerja dan itu yang membuatnya sering diberhentikan kerja. Berulang kali Ibunya menasihati namun Muara tidak mengindahkannya. Dia menutup diri, bersikap dingin, dan pesimis.
Beruntung ada tempat makan ayam goreng yang menerimanya kerja. Keseringan terlambat dan bersikap dingin belum berubah. Dan pada satu waktu ada pelatihan crew yang diadakan di puncak, di sinilah Muara bertemu Fariz, trainner-nya. Diskusi kecil yang mereka lakukan membuka babak baru. Muara diingatkan jika hidup tak melulu pahit. Melalui secangkir moka, Muara diajarkan menggali rasa cokelat yang dicampur pahitnya kopi.
Novel The Mocha Eyes ini merupakan bagian series Love Flavour yang diterbitkan Penerbit Bentang. Sebelumnya saya pernah membaca judul lainnya yaitu The Coffee Memory karya Riawani Elyta.
Kesan pertama setelah membaca novel ini, saya cukup menikmati romansa antara Muara dan Fariz yang dibangun penulis. Romansa yang dihadirkan tipikal romansa dewasa, tidak menye-menye ala anak muda.
Isu trauma masa lalu begitu kental disampaikan pada novel ini. Saya tidak bisa membayangkan seberapa hancur hidup seorang gadis yang jadi korban perkosaan dan setelah itu ayahnya meninggal karena kejadian ini. Kasus perkosaan bukan soal sepele. Korbannya akan memikul trauma ini seumur hidup dan menjadi nasib buruk yang tidak akan pernah bisa dihapuskan atau dilupakan. Karakter Muara yang begitu skeptis pada apa pun, pendiam, tertutup, menjadi contoh efek bagi si korban. Karena korban akan kehilangan kepercayaan diri, merasa kotor, malu dengan penilaian orang di sekitar, dan di sisi lain ia enggan dikasihani.
Kehadiran Fariz sebagai konselor bagi Muara menjadi jembatan terbukanya segala perasaan yang dipendam Muara. Ini bagian penting dari isu trauma masa lalu, jika korban harus bisa membuka diri dengan menceritakan masa lalunya, apa yang dirasakannya, harapan-harapannya, agar tumpukan perasaan itu terurai. Setidaknya proses konseling ini menjadi pelepasan beban hidup, dan tujuannya agar pikiran dan hatinya lebih lega. Dengan begitu, pikiran dan hatinya bisa diisi lagi dengan hal-hal baik dan menyenangkan yang lebih banyak.
Bagian paling menyenangkan di novel ini saat Muara berangsur-angsur memiliki gairah hidup setelah ia menceritakan masalahnya kepada Fariz. Semangat Muara seperti menular kepada saya sebagai pembaca. Bukan apa-apa, saya cukup bisa merasakan karakter Muara yang gelap, dan begitu dia mulai bersinar lagi, itu membuat saya senang.
Ada beberapa catatan yang menurut saya bisa diperbaiki dalam novel ini:
- Karena ini novel romansa, kita akan menemukan dialog-dialog manis. Tapi jujur saja, kayaknya sedikit sekali orang di kehidupan nyata akan mengatakan dialog-dialog manis tadi. Jadi pada bagian ini saya cukup geli membayangkannya.
- Hanya karakter Muara yang menurut saya menonjol dan utuh. Karakter seperti Fariz dan Meisha tidak tergali lebih dalam. Ini yang membuat saya kurang terkoneksi secara karakter dengan mereka.
- Bagian Muara berkonsultasi dengan Fariz soal masa lalunya terlalu singkat. Saya jadi tidak bisa merasakan pergulatan batin Muara ketika dia membuka rahasianya kepada Fariz. Dan untuk kasus pelik yang dipikul Muara, rasanya akan butuh banyak pertemuan dengan konselor.
Walau ada catatan seperti di atas, secara umum novel ini masih enak dinikmati, layaknya menikmati kopi moka.
Saya juga suka dengan kovernya. Perpaduan warna cokelat kayu, papan tulis hitam, dan lantai abu-abu, membuat novel ini tambah manis.
Sekian ulasan saya untuk novel ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!
0 komentar:
Posting Komentar