Judul: Nyaliku Kecil Seperti Tikus
Penulis: Yu Hua
Penerjemah: Sophie Mou
Penyunting: Eka Saputra & Nurjannah Intan
Penerbit: Penerbit Bentang
Terbit: Juli 2022, cetakan pertama
Tebal: vi + 182 hlm.
ISBN: 9786022919148
Yang Gao tak pernah mengerti alasan orang-orang sering sekali meremehkannya. Mereka selalu mengatainya pengecut seperti tikus hanya karena ia menolak menuntut. Padahal, ia selalu merasa hidupnya baik-baik saja. Ia tak pernah berpikir untuk mengeluh meski bekerja paling rajin, tetapi diganjar dengan upah terkecil. Bahkan, Yang Gao tak pernah mau melawan setiap cacian maupun pukulan. Ia bukannya penakut, hanya tak suka ribut.
Hingga suatu ketika, tragedi menimpa ayahnya membuat ia mulai memikirkan satu hal: sebuah pembalasan.
***
Sinopsis
Buku ini memiliki tiga cerita yang tidak berkaitan.
[1] Nyaliku Kecil Seperti Tikus menceritakan tokoh bernama Yang Gao yang dalam hidupnya banyak hal yang dia takutkan. Dari sejak kecil hingga ia dewasa. Awalnya takut angsa dan takut naik pohon, lalu setelah dewasa dia takut mengatakan keinginannya sehingga saat ia sudah bekerja, gajinya tetap kecil dibandingkan kawan seangkatannya gara-gara Yang Gao enggan bermain trik. Sehingga sepanjang hidupnya melekat sebutan pengecut. Cemoohan dan ejekan memang menyakitkan tapi Yang Gao tidak berani membela diri. Dia seperti ayahnya yang enggan mencari ribut. Perbedaannya, ayahnya mampu membalas sakit hati meski harus mati, sedangkan Yang Gao memilih dipukuli meski ia ingin berkelahi.
[2] Sebuah Kenyataan menceritakan keluarga yang terdiri dari seorang ibu yang sudah renta dan dua anak laki-lakinya (Shan Gang dan Shan Feng) yang sama-sama sudah menikah dan sudah memiliki anak. Suatu hari istri Shan Feng menemukan anaknya yang masih balita terbaring mati di halaman, dan diketahui yang membuat anaknya begitu adalah Pippi, anak Shan Gang. Dari kejadian ini berurutan kakak-adik ini meminta pertanggungjawaban. Setelah anaknya mati, Shan Feng ingin Pippi juga harus mati. Setelah Pippi mati, Shan Gang meminta istri Shan Feng diserahkan. Tragedi yang tidak ada ujungnya.
[3] Suatu Kebetulan menceritakan sebuah pembunuhan di Kafe Lembah yang menewaskan salah satu pengunjung dengan tikaman pisau tetapi si pembunuh justru menyerahkan diri ke polisi saat itu juga. Ada dua saksi bernama Chen He dan Jiang Piao yang saat itu juga berada di TKP. Ketika mereka jadi saksi, polisi tertukar menyerahkan kartu identitas mereka. Dan sejak itu Chen He dan Jiang Piao saling berkirim surat membicarakan soal pembunuhan itu dengan dugaan-dugaan versi masing-masing.
***
Resensi
Saya bisa menyebut ketiga cerita tersebut sebagai novela. Karena pada akhirnya buku ini hanya berisi tiga cerita saja dengan alur dan tokoh yang membentuk kesimpulan.
Ketiga ceritanya menarik dan memiliki aura yang berbeda satu dengan yang lain. Kalau pun harus dicari persamaannya, mungkin akhir kisahnya yang tragis bisa dijadikan poin itu. Kematian yang disengaja, baik dibunuh maupun bunuh diri, bakal ditemukan dalam ketiga cerita tersebut. Pada cerita Nyaliku Kecil Seperti Tikus kita akan mendapati ayah Yang Gao bunuh diri demi membalas dendam karena harga dirinya dilecehkan di depan anaknya.
Sedangkan pada cerita Sebuah Kenyataan akan kita temukan lebih banyak kematian. Begitu membaca cerita ini saya jadi ingat dengan pembukaan cerita buku Tiga Dalam Kayu karya Ziggy Z. yang menarasikan pembunuhan dengan santai, pelakunya anak-anak pula. Yang masih hidup dalam cerita ini adalah para istri. Ibu, kakak-beradik, dan anak-anak mereka mati. Yang menarik dari cerita ini tentu saja proses kematian mereka yang harus kita ikuti.
Lalu pada cerita Suatu Kebetulan ada kematian akibat pembunuhan. Kasus yang kemudian dibicarakan dua tokoh utamanya namun mereka akhirnya mengulang pembunuhan tersebut.
Untuk tema yang paling kental dalam buku ini adalah keluarga, bisa soal hubungan orang tua-anak atau suami-istri. Tema ini biasanya memberikan efek kehangatan pada pembaca tetapi pada buku ini jangan mengharapkan itu, kita justru akan lumayan terusik dengan alur cerita yang benar-benar membagongkan mental.
Penyebab efek itu karena konflik yang disajikan terlalu kelam. Tokoh-tokohnya memiliki konflik batin yang besar dengan kehidupan sehingga penulis mengeksekusi ceritanya tidak dengan manis, melainkan ditutup dengan tragedi.
Saya menyukai buku ini karena gaya bahasa yang digunakan penulis benar-benar khas buku asia: perlahan, detail, tajam, dan menghanyutkan. Walau konflik yang dibawakan penulis terbilang ngeri tetapi dengan gaya bahasa yang saya sebutkan sebelumnya, cerita terasa punya rasa magic dan menjadi lebih dramatis.
Setelah membaca buku ini saya merasakan hati saya jadi lebih besar ketika memandang kehidupan dibandingkan sebelumnya, lebih bersyukur juga, sebab tokoh-tokoh dalam buku ini punya kehidupan yang tragis, yang menghimpit mereka untuk keluar dari konflik dengan harus membuat keputusan yang baik.
Untuk ketiga cerita yang dikarang Yu Hua saya memberikan nilai 4/5 bintang. Buku ini menyegarkan sebagai bacaan literasi asia walau isi ceritanya tidak semenyegarkan itu.
Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!
0 komentar:
Posting Komentar