[Resensi] Seumpama Matahari - Arafat Nur


Judul: Seumpama Matahari
Penulis: Arafat Nur
Editor: Yetti A. KA
Penerbit: DIVA Press
Terbit: Cetakan pertama, Mei 2017
Tebal buku: 144 hlm.
ISBN: 9786023914159

"Cinta Seumpama matahari, ia tidak pernah mengharapkan cahaya dari bumi. Tapi, ia selalu memberikan cahaya bagi bumi. Biarpun bumi tidak merasakan cahayanya. (Hal. 92)

*****

Novel Seumpama Matahari terbilang tidak tebal. Dan ukuran ini cukup untuk memancing daya baca saya yang sedang merosot. Ampuh memang hasilnya. Novel ini bisa saya selesaikan sekali duduk saja.

Buku berkover kuning ini menceritakan perjalanan seorang Asrul, pemuda Aceh, yang terlibat sebagai gerilyawan dalam operasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai dia memutuskan untuk keluar dari GAM demi menjadi warga yang normal.

Saya sedikit terusik ketika tahu jika tokoh dalam buku ini mengambil sudut pandang pemberontak. Dalih-dalih mereka memerangi tentara demi merdeka sangat bertentangan dengan pikiran saya yang masih mencintai tanah air dengan segala permasalahannya. Tetapi penulis berhasil memberikan jawaban untuk pertanyaan kenapa tokoh utamanya harus seorang gerilyawan.

Seorang Arafat Nur seperti ingin memberikan informasi kalau beberapa anggota gerilyawan sebenarnya tidak melulu memiliki ambisi memberontak. Asrul misalnya, dia ini memang punya dendam kepada tentara atas terbunuhnya Ayahnya yang ditembaki tentara sebagai pelampiasan karena gagal menangkap pemberontak. Karena ajakan kawannya dan hasutan peristiwa pembunuhan itu, Asrul akhirnya masuk ke pelatihan demi menjadi anggota gerilyawan.

Berjalannya cerita, Asrul akhirnya tiba di satu titik lelah dengan ambisi perangnya terhadap tentara. Dia menimbang perasaan ibunya, adiknya, bahkan calon istrinya. Muncullah kehendak hati untuk menjadi warga biasa saja yang menjalani kehidupan normal tanpa harus merasa dikejar untuk ditangkap tentara.

Hal menarik yang saya temukan dari membaca buku ini salah satunya adalah sejarah GAM itu sendiri. Penulis membuka selapis demi selapis mengenai GAM. Kapan GAM mulai kambuh. Apa latar belakang GAM muncul. Bahkan bagaimana senjata bisa dimiliki oleh GAM. Akhirnya setelah selesai membaca buku ini, saya paham eksistensi GAM yang dipicu oleh pemerintah yang tidak adil dalam membangun daerah di Aceh (sesuai novelnya).

Biarpun buku ini menceritakan bagian sejarah Indonesia, bobotnya tidak terlalu berat seperti buku teks di sekolahan. Mungkin karena penulis memasukkan unsur roman antara Asrul dan perempuan berambut hitam yang wangi. Justru roman ini paling melekat di benak saya begitu cerita ditamatkan.

Sepanjang mengikuti kisah roman Asrul, pikiran saya ikut liar berandai-andai. Jujur saja, saya sempat membayangkan si Asrul ini akan melakukan hal senonoh dengan perempuan yang ia sukai. Sebabnya, Asrul ini muda dan jiwanya masih meletup-letup. Kisah awal ketika dia bertemu dengan gadis itu, ada aura nakal yang muncul. Bahkan ketika Asrul serumah dengan perempuan itu, narasi mengesankan kalau Asrul hanya pemuda biasa yang punya birahi juga. Sayangnya latar Aceh menyelamatkan cerita jatuh ke kosnep liar yang saya bayangkan tadi. Tahu sendiri, Aceh sangat menjunjung tinggi nilai keislaman, bahkan itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan di dalam novel ini menyinggung pandangan soal pacaran di kalangan warga Aceh yang dianggap sebagai perilaku yang tak pantas. Kalau sampai ketahuan warga sedang berduaan di tempat sepi, bisa diarak dan disidang. Cukup bikin menelan ludah bukan jika dikaitkan dengan kondisi saat ini?

Alasan saya akhirnya lancar jaya menamatkan buku ini, karena ditopang juga oleh diksi yang digunakan penulis. Arafat Nur yang beberapa kali mendapat apresiasi karyanya, tampaknya lebih nyaman menggunakan bahasa baku ketimbang bahasa gaul dalam buku ini. Bisa jadi pengaruh latar di Aceh dan bukan di Jakarta, sehingga bahasa yang dipakai adalah bahasa santun yang memang dipergunakan di sana.

Ternyata tetap saja ada yang kurang terhubung antara saya dan buku Seumpama Matahari ini. Terutama mengenai penokohan Asrul dan karakter-karakter lainnya. Saya kesulitan membayangkan fisik dan sifat Asrul ini. Tidak ada penjelasan spesifik Asrul ini mukanya seperti apa, kecuali rambutnya yang panjang. Sifatnya pun masih bias, dia ini seperti apa. Pekerja keras bukan. Pemberani sekali juga bukan walau tersebut sebagai gerilyawan. Humoris juga tidak. Dewasa dan bijak juga tidak ada narasi yang kesana. Saya tidak menemukan karakter menonjol dari Asrul yang bisa mengesankan saya, syukur-syukur bisa diteladani.

Melihat kekurangan (menurut saya) tadi itu, saya jadi ingin membaca buku Arafat Nur lainnya. Terlebih ingin membandingkan cara beliau bercerita dan bermain diksi. Apakah lebih memikat dari yang ini atau justru sama saja karena itu ciri beliau?

Sebagai penutup, novel ini enak, nyaman, dan sangat bagus dibaca karena muatan sejarahnya yang bisa menambah wawasan pembaca soal salah satu peristiwa besar yang pernah terjadi di tanah Aceh, yaitu Gerakan Aceh Merdeka.

Catatan: Nggak ada penanda buku/bookmark

*****

Padukanlah pikiran dan perasaanmu, niscaya kau mampu mengendalikan dunia ini. (Hal. 24)

"Nak, berusaha untuk mati itu lebih cepat berhasil daripada kau berusaha untuk terus hidup." (Hal. 55)

Kebahagiaan selalu saja diakhiri perpisahan. Sebagaimana kehidupan yang dipisahkan kematian. (Hal. 58)

Sejujur-jujurnya manusia tetap pernah berbohong. (Hal. 109)

Curhat Saya Soal Menulis


[Intermeso] Akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis uneg-uneg yang kelamaan diperam di dada soal menulis resensi. Aslinya saya sangat terbebani ketika harus menulis resensi buku yang selesai saya baca, harus bagus. Harus pakai aturan resensi yang ini itu, harus pakai kalimat efektif, harus memiliki nyawa, bahkan harus kerasa ilmiah. Persetan dengan itu semua sebab saya masih belajar menulis.

Pernah kapan waktu saya mau ikutan lomba resensi dan berujung nggak jadi ikut karena stres begitu harus membuat resensi. Sudah bacaan saya terbilang sastra berat, ditambah saya harus membuat resensi super menarik, super cerdas, supaya bisa jadi juara. Sayang seribu sayang, saya kalah sebelum perang. Saya mentok nggak bisa mikir harus menulis resensi mulai dari mana, harus bahas apaan, harus menyoroti dan mengkritisi bagian apanya dan harus menggunakan format yang bagaimana.

Efek besar dari perfeksionis ini saya jadi jarang memposting artikel resensi. Buah dari kebuntuan ketika membuat resensi yang harus memenuhi kriteria sempurna. Saya sudah membaca beberapa judul buku dan selalu berujung resensinya dihapus karena merasa jelek mulu, sampai dengan sekarang buku tadi belum bisa bersanding dengan resensinya. Akhirnya mangkrak dan terpaksa buku tadi masuk ke kategori buku yang harus dibaca ulang.

Sejak saat ini, saya memang harus sedikit berkompromi dengan proses menulis. Enggak perlu muluk-muluk harus bagus banget, yang penting bisa menyampaikan kesan setelah baca dengan versi saya yang sesungguhnya. Sedikit memberikan toleransi kepada tulisan saya supaya bisa jadi, tanpa memasang standar tinggi. Sebab standar tadi justru bisa balik membunuh kebiasaan dan latihan menulis.

Lalu apa kabar dengan belajar menulis yang baik? Saya memercayai kalau proses akan memoles kemampuan. Saya percaya pribahasa 'Alah bisa karena biasa'. Dengan banyak membaca dan menuliskan lagi, kemampuan membaca dan menulis akan terasah hingga runcing. Sambil berproses, saya akan memperbaiki sisi-sisi yang bisa diperbaiki.

Sebagai penutup, saya ingin menekankan jika akhirnya blog ini akan menjadi sangat personal menjembatani saya sebagai pembaca dengan buku yang saya baca. Kemudian resensi hanya menjadi bentuk klimaks dari hubungan saya dan buku. Ibarat pengantin baru di malam pertamanya, kedua pihak tidak perlu menuntut kesempurnaan suatu momen. Sebab masih ada banyak waktu untuk menambahkan kesan-kesan baik di malam-malam berikutnya.

Daftar Wishlist Sepanjang Masa


[Wishlist] Setiap hari Jumat seharusnya saya mempublikasikan artikel berupa wishlist; buku apa yang sedang diinginkan. Saya minta maaf karena masih belum bisa mengikuti ritme publikasi yang konsisten. Alasannya karena saya masih harus membagi waktu antara membuat artikel dengan pekerjaan. Sebab saya mengerjakan kedua hal tadi di PC tempat bekerja. Saya belum punya laptop pengganti yang sudah rusak.

Kesempatan kali ini saya ingin berbagi daftar wishlist apa saja yang pernah saya buat di sepanjang saya membuat blog ini. Daftarnya adalah sebagai berikut:

1. Complicated Thing Called Love - Irene Dyah
2. Gravity - Rina Suryakusuma
3. Satu Kisah yang Tak Terucap - Guntur Alam
4. Kita dan Rindu yang Tak Terjawab - Dian Purnomo
5. Di Bawah Langit yang Sama - Helga Rif
6. Perempuan-Perempuan Tersayang - Okke ‘sepatumerah’
7. Pertanyaan Kepada Kenangan - Faisal Oddang
8. A Man Called Ove - Fredrik Backman
9. Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi - Yusi Avianto Pareanom
10. Love on Probation - Christina Juzwar
11. Que Queen - Regina Alexandra
12. Mozaik - Ita Susanto
13. Juvenilia - Jane Austen
14. The Convenient Marriage - Georgette Heyer
15. One Little Thing Called Hope - Winna Efendi
16. Petualangan Tom Sawyer - Mark Twain
17. Milea - Pidi Baiq
18. Roma - Pia Devina
19. To All The Boys I’ve Loved Before - Jenny Han
20. Ratu Salju - H. C. Andersen
21. Muhammad; Lelaki Penggenggam Hujan - Tasaro GK
22. Satu Mata Panah Pada Kompas yang Buta - Suarcani
23. Being Henry David - Cal Armistead
24. Cinder: The Lunar Chronicles - Marissa Meyer
25. Scarlet - Marissa Meyer
26. Rumah Kertas - Carlos Maria Dominguez
27. Slammed - Colleen Hoover
28. Silence (Hening) - Shusaku Endo
29. Conceited Heart’s Cry - Ayuko
30. Silent Wife - A. S. A. Harrison
31. Penjelajah Antariksa 1: Bencana di Planet Poa - Djokolelono
32. The Name of The Rose - Umberto Eco
33. Carve The Mark - Veronica Roth
34. Rogue Lawyer (Pengacara Bajingan) - John Grisham
35. Aftertaste - Sefryana Khairil
36. Caraval - Stephanie Garber
37. Breakable (Merepih) - Tammara Webber
38. Fathers and Sons - Ivan Turgenev
39. 24 Jam Bersama Gaspar - Sabda Armandio
40. Bilangan Fu - Ayu Utami

* Untuk judul yang link-nya hidup, artinya saya sudah punya dan membaca buku itu. Silakan untuk dibaca resensinya.

Dari 40 judul buku yang jadi wishlist, ternyata hanya 4 buku yang saya punya dan sudah dibaca. Resensinya pun sudah saya buat. Artinya baru 1% pencapaian saya memenuhi buku-buku yang saya idam-idamkan. PR banget untuk segera memenuhinya sekaligus penasaran buku apa lagi yang akan bertambah. Hehe.

Daftar "Buku Akan Dibaca" update Agustus 2019


[Intermeso] Fakta kemampuan membaca buku yang tidak sebanding dengan kemampuan menimbun buku sudah bukan informasi baru bagi para blogger buku. Dapat dipastikan para blogger buku punya daftar “Buku Akan Dibaca”, entah hanya beberapa judul atau berjudul-judul.

Saya pun demikian. Di kosan masih bertumpuk buku yang belum sempat dibaca. Biasanya akibat menunda-nunda membaca tapi rajin membeli. Dan kesempatan kali ini saya mau membuat daftar buku apa saja yang masih statusnya “Buku Akan Dibaca”:

1. Pangeran Kertas by Syahmedi Dean
2. Senandika Prisma by Aditia Yudis
3. Asa Ayuni by Dyah Rinni
4. Elegi Rinaldo by Bernard Batubara
5. Lara Miya by Erlin Natawiria
6. Love Catcher by Riawani Elyta
7. Magic Perempuan dan Malam Kunang-kunang by Guntur Alam
8. Samaran by Dadang Ari Murtono
9. Para Bajingan yang Menyenangkan by Puthut EA
10. The Seven Good Years by Etgar Keret
11. Lamber Akrobat by Agus Mulyadi
12. Di Kaki Bukit Cibalak by Ahmad Tohari
13. Voice by Ghyna Amanda
14. Miss Peregrine's Home for Peculiar Children by Ransom Riggs
15. Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto by Mitch Alvin
16. The Travel Crates by @rudycrates
17. Aroma Karsa by Dee Lestari
18. Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat by Mark Manson
19. The Wrong Side of Right by Jenn Marie Thorne
20. Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
21. Hati Tak Bertangga by Adi Prayuda & Ikhwan Marzuqi
22. Jogja Jelang Senja by Desi Puspitasari
23. Pergi by Tere Liye
24. Goodbye, Thongs by Fumio Sasaki
25. Keep Calm and Be Fabulous by Amal Azwar, Caca Kartiwa, Hendri Yulius, Bintang Pradipta, El Ayn Morve, dan Kindy Marina
26. Dua Tangisan Pada Satu Malam by Puthut EA
27. Cum on Feel The Noize by Nuran Wibisono
28. Frankfurt to Jakarta by Leyla Hana & Annisah Rasbell
29. Jemput Terbawa by Pinto Anugrah
30. Waktu untuk Tidak Menikah by Amanatia Junda
31. Y by Billy Born
32. Kupu-Kupu Bersayap Gelap by Puthut EA
33. Anatomi Rasa by Ayu Utami
34. Arterio by Sangaji Munkian
35. Titik Temu by Ghyna Amanda
36. Kala Mata by Ni Made Purnama Sari

Wow! Ada 36 buku yang belum saya lahap dan tidak terbayang bakal kapan dibaca. Soalnya saya sedang mengalami penurunan minat baca. Jadi tidak begitu ngoyo banget baca buku, apalagi menargetkan. Doakan saja saya bisa segera menuntaskannya dan doakan juga supaya bisa me-rem beli buku.

[Resensi] Melankolia Ninna - Robin Wijaya


Judul: Melankolia Ninna
Penulis: Robin Wijaya
Penyunting: Jia Effendie
Penerbit: PT Falcon
Terbit: Cetakan Pertama, Desember 2016
Tebal: 234 hlm
ISBN: 9786026051417

Saat series Blue Valley ini diluncurkan, saya tertarik untuk memiliki bukunya. Series ini terdiri dari lima buku yang mengisahkan lima rumah di perumahan Blue Valley dan ditulis oleh penulis-penulis terkenal di Indonesia. Gaung series ini pun membuat saya ikut tantangan menulis yang diselenggarakan oleh Mbak Jia Effendi di blognya. Waktu itu saya menulis cerita pendek dengan tajukAku Khilaf, Ibu”. Sayang sekali, saat itu saya belum beruntung.

Dasarnya harus berjodoh dengan series ini, di awal tahun saya akhirnya bisa memborong kelima judul series Blue Valley dalam obralan. Saya sangat bersyukur sekali karena kesempatan untuk membacanya terkabul. Lalu, buku bersampul biru ini menjadi buku pembuka saya berkenalan dengan kisah orang-orang yang tinggal di perumahan Blue Valley.

Buku Melankolia Ninna ini dibuka dengan adegan kepulangan Ninna bersama suaminya, Gamal, dari rumah sakit setelah menjalani operasi pengangkatan rahim. Operasi ini menjadi momen penghilangan harapan bagi Gamal dan Ninna untuk mempunyai anak.

Cerita di buku ini berkutat tentang perasaan suami dan istri yang harus menerima kenyataan mereka tidak akan punya anak. Ninna menjadi perempuan yang paling terluka karena dia sadar betul kehadiran anak merupakan pelengkap sempurna untuk sebuah keluarga. Dia akhirnya merasa tidak percaya diri sebagai istri karena tidak bisa memberikan anak bagi suami dan keluarga besar mereka.

Lain lagi dengan Gamal sebagai suami yang begitu mencintai istrinya, dia mesti menahan luka kehilangan yang dirasakan demi menjaga emosi sang istri. Pembicaraan soal anak selalu dihindarinya. Dan dia berjuang keras untuk memberikan lebih banyak waktu agar istrinya bisa melewati masa berduka.

Bagaimana Gamal dan Ninna melanjutkan pernikahan mereka di tengah konflik pasca operasi pengangkatan rahim? 

Saya menyukai cerita Melankolia Ninna ini karena mengulik kehidupan usia dewasa, pernikahan, dan keluarga. Banyak hal positif yang bisa diambil setelah membacanya. Misalkan, untuk selalu berkomunikasi ketika bersitegang, untuk menjaga ucapan ketika emosi mendominasi, bahkan untuk tetap memegang prinsip menjaga hati pasangan ketika hubungan sedang didera badai.

Diksi yang dipilih penulis tidak bertele-tele sehingga membuat saya nyaman memahami jalan cerita. Bagaimana membangun emosi melalui diski juga sudah sangat baik. Kecuali untuk adegan emosional yang masih belum membuat saya greget ikut tersulut. Sebab di sini saya tidak menemukan adegan fisik atau ucapan sarkas, padahal konflik yang dihadapi suami istri ini sebenarnya sangat bisa membuat naik pitam. Sehingga rasa emosi yang ditimbulkan masih skala standar.

Untuk sisi haru, saya temui di beberapa tempat dalam buku ini. Terutama ketika adegan puncak Gamal dan Ninna di kamar setelah keduanya melihat baby crib dan berlanjut ke kamar. Di kamar, Ninna menunjukkan pakaian bayi yang ia sembunyikan di bawah tumpukan bajunya (hal.165).

“Itu caramu mengenang harapan kita, Nin. Aku enggak mau merebutnya dari kamu.”
“Tapi kamu ingin kita melangkah, kan, Gamal?”
“Kamu yakin kita bisa melupakan semuanya?”
Ninna menggeleng lemah.
“Dan aku juga enggak bisa terus-menerus berpura-pura kuat di depan kamu. Ada kalanya, aku juga merasakan luka yang sama seperti kamu. Bahkan bisa jadi lebih dalam.”

Selain ide cerita yang menarik, saya juga salut dengan penokohan yang dihadirkan penulis. Terutama Gamal dan Ninna. Gamal adalah pria dewasa yang kalem, tipe perencana, bisa romantis, dan penyayang. Walau ada saatnya dia memutuskan keputusan yang kurang tepat, tapi selalu ada pertimbangan kenapa memilih demikian. Sedangkan Ninna adalah perempuan yang penurut suami, perempuan yang detail, sensitif, bijak, penimbang, dan kuat. Walau ada saatnya dia berubah jadi rapuh tapi itu bisa dimaklumi mengingat keadaan yang sedang dihadapinya.

Keseluruhan cerita dalam buku Melankolia Ninna ini membawa pesan untuk berhati-hati dalam membuat keputusan ketika sudah berumah tangga. Apalagi jika sedang ada masalah. Sebab jika keliru melihat masalah, bukan tidak mungkin akan melahirkan keputusan salah dan terburu-buru yang justru merugikan keluarga. Keputusan dalam berumah tangga bukan keputusan yang sederhana. Sekalinya salah, akan sulit diperbaiki.

Buku ini sangat cocok dibaca oleh siapa pun. Isi ceritanya memiliki banyak pesan untuk banyak situasi dalam ranah rumah tangga atau lingkungan kedewasaan. Akhirnya, untuk kisah konflik antara Gamal, Ninna dan kenyataan menyakitkan, saya memberikan rating 4/5.


*****
Terkadang, kesempatanlah yang membuat kita melakukan hal baik dan buruk. (hal.41)

Dan ketika kita melanggar prinsip yang sudah kita buat sendiri, rasanya kok kayak munafik banget. (hal.69)

Tinggal di mana pun menurut gue, yang terpenting adalah bisa bersosialisasi dengan baik. (hal.73)