Judul: Arwah
Penulis: Jounatan & Guntur Alam
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
Terbit: Desember 2017
Tebal: 172 halaman
ISBN: 9786020451176
Harga: Rp46.800
Nilai: 2/5
Setelah lama tidak bisa menyelesaikan satu bacaan pun, akhirnya saya bisa pecah telur dengan membaca tuntas novel horor berjudul Arwah. Novel ini ditulis duet oleh Jounatan dan Guntur Alam, dan didaulat sebagai novel pertama dari novel trilogi. Buku keduanya sudah terbit juga, berjudul Tumbal. Sedangkan novel ketiganya sedang dalam proses penulisan, berjudul Ritual.
Novel Arwah bercerita tentang tiga teman kelas XI di SMA Victoria yaitu Jounatan, Nayla dan Leo. Jou diperkenalkan kepada Kak Bram yang merupakan kakak laki-laki Melodi, teman perempuan yang diam-diam menyukainya, untuk pekerjaan di Diskotek Lipstik. Kunjungan pertama mereka ke diskotek itu berujung tragedi yang melibatkan sosok hantu berambut gondrong dan memakai kaus kuning bertuliskan Nirvana. Hantu tersebut dikenal sebagai hantu Budi Lupus. Kemudian ketiganya diteror dengan sadis.
Apa hubungan benang merah antara Diskotek Lipstik, hantu Budi Lupus dan Jounatan?
Secara umum saya rada kecewa dengan ceritanya.
Novel Arwah ini memang mengambil genre yang jelas, novel horor. Tetapi, buat saya aura horor itu menjadi tidak horor lagi ketika adegan horor dimunculkan terlalu sering. Sejak Jounatan pergi ke Diskotek Lipstik, rasanya hidup Jounatan diganggu mulu oleh hantu Budi Lupus. Bukan sekali atau dua kali, setiap ke toilet, di rumah, di diskotek, Jounatan selalu dihantui. Saya sebagai pembaca bukannya merasa ngeri dengan kehadiran hantunya, justru makin bertanya-tanya, apa benar novel horor harus hantunya dimunculkan setiap saat begini.
Bahkan narasi mengenai hantunya diulang berkali-kali, seperti darah yang menetes dari hantu, bau rokok yang menguar, hingga bau amis darah. Sehingga saya beberapa kali meloncati paragraf yang menjelaskan kehadiran hantu dengan narasi sama karena saya sudah paham sekali ciri hantu dan kehadirannya akan diceritakan seperti itu.
Kemudian, menurut saya alasan Jounatan untuk bekerja terlalu mengada-ada. Sekadar menjadi mandiri dan bukan tuntutan hidup yang kemudian membuat Jounatan mengalami gangguan belajar di sekolah (tertidur di kelas, hal.67), sangat disayangkan. Saya tidak habis pikir penulis mau mengambil alasan aneh ini untuk ukuran anak SMA kelas 2 dengan orang tua yang masih lengkap. Terkesan dipaksakan.
“Jangan dipaksain kerjan Jou. Papa masih sanggup ngumpulin uang buat kuliahmu nanti….” (hal.52)
“Enggak apa-apa. Aku kuat. Udah gede ini. Lagian, kayak yang sering aku bilang, aku mau mandiri, Pa….” (hal.53)
Karakter Jounatan pun tidak pas untuk disukai sebagai karakter utama. Saya paham ketakutan dia yang dihantui mahluk halus. Namun ketika Nay membuka diri menceritakan keganjilan yang ia alami, Jo justru menutup diri terhadap keganjilan yang ia alami. Padahal sebelumnya ada pernyataan ia ingin menceritakan keanehan yang ia alami namun ia takut dengan reaksi Leo atau Nay tidak sesuai yang ia pikirkan. Jadinya situasi yang kontradiksi.
Bisa dikatakan karakter Jou, Nay, dan Leo tidak menonjol. Parameternya, saya tidak mendapatkan kesan mendalam terhadap ketiganya.
Di buku ini juga memuat kebetulan yang membuat saya tidak percaya. Penulis menghadirkan Natali, Pak Narto (satpam) dan Pak Hasta, yang punya kemampuan merasakan keanehan atas keberadaan hantu. Tiga orang terlalu banyak untuk menjadi perantara perasa keberadaan hantu yang bersinggungan dengan tokoh utama Jou.
Selain itu ada teknik penulisan yang tidak saya sukai yaitu penggambaran kejadian aneh yang dinarasikan penulis secara detail tetapi bukan dalam sudut pandang tokohnya. Semacam ada kejadian aneh di belakang punggung tokoh utama yang tidak disadari. Jadinya malah tidak horor lagi.
Tanpa dia sadari, satu per satu pakaian kotor di dalam keranjangnya bergerak ke atas,… (hal.84)
Kesan saya setelah membaca cerita buku Arwah ini adalah capek. Saya merasa dijejali dengan kehadiran hantu yang kelewat sering. Maunya saya, cerita hantu itu dikemas dengan kehadiran hantunya yang tepat waktu dan enggak keseringan, tetapi dibanyakin kegiatan ketiga tokoh utama menelusuri fakta tersembunyi atas misteri hantunya. Biarkan hantu itu muncul di bagian-bagian klimaks saja.
Gara-gara membaca buku ini juga, saya merasa perlu membaca novel genre horor penerbit ‘tetangga’ untuk membandingkan mana teknik yang pas dalam membuat cerita horor. Biarpun banyak catatan di ulasan novel Arwah ini, saya tetap akan melanjutkan ke buku keduanya, Tumbal.
Semoga bisa lekas selesai membacanya!
[Jadi kaku lagi bikin ulasannya. Harap bisa maklum euy]
produktif sekali sepertinya membacanya :)
BalasHapussetiap kali mau baca novel horror, pikiran udah mundur duluan, takut kebayang seremnya
Selama ini belum nemu buku horor yang kemudian bikin merinding sesudahnya. Ada rekomendasi gak nih?
Hapus