Judul: Ubur-Ubur Lembur
Penulis: Raditya Dika
Editor: Windy Ariestanty
Penerbit: GagasMedia
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal buku: viii + 232 halaman
ISBN: 9789797809157
Harga: Rp66.000
Ada yang tidak tahu sosok Raditya Dika? Keterlaluan. Saya jelaskan sedikit, beliau ini cowok tulen bertubuh pendek (katanya sering diejek demikian) tapi dia multitalenta. Seperti pandangannya tentang profesi yang ia geluti dan ia tuturkan di bab Ubur-Ubur Lembur, Raditya Dika berangkat dari seorang blogger di blog kambingjantan.com dan tidak mau berhenti sampai di situ. Seperti profesi formal lainnya ada istilahnya naik jabatan. Namun, menjadi blogger tidak ada istilah naik jabatan. Sifatnya bukan vertikal, dan Dika sadar jika blogger hanya punya jalan mengembangkan karier secara horizontal, seperti menjadi penulis buku, penulis naskah, sutradara atas naskahnya, dan paling berani menjadi bintang film untuk naskah yang ditulis dan dia sutradarai (terkesan rakus, memang).
Perkenalan saya dengan buku Dika dimulai tahun 2015 dengan membaca dua buku sekaligus; Marmut Merah Jambu dan Koala Kumal (saya sempat meresensi di blog lama: bukuguebaca.blogspot.com). Lalu, buku terbarunya tahun 2018 ini berjudul Ubur-Ubur Lembur pun saya lahap karena saya tahu bagaimana kocak dan serunya kisah-kisah yang disajikan Dika. Masih dengan konsep sama, memadukan komedi dan kisah pribadi, Dika mencoba memberikan hiburan untuk pembacanya. Apakah kisah pribadinya penting? Pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan jika kalian membaca Prakata terlebih dahulu. Dika mendapatkan pencerahan ketika bertemu komedian Australia saat ia menghadiri Ubud Writters & Readers Festival di Bali, “Gue baru sadar, dengan membicarakan hal yang penting, gue bisa kembali menulis dengan lancar karena gue merasa apa yang gue tulis ini harus dibaca oleh orang banyak.” Intinya, siapa pun engkau saat ini, jika menganggap dirimu sama pentingnya, apa yang kau lakukan akan menjadi penting, di luar dari penilaian orang lain. Nilai penting ini yang kemudian bakal menggerakkan kita melakukan lebih banyak dari yang bisa kita lakukan.
Di Ubur-Ubur Lembur, Dika menghidangkan 14 kisah pribadi dengan rasa yang beraneka. Saya pilihkan tiga terbaik dan berkesan versi saya; Di Bawah Mendung Yang Sama, Tempat Shooting Horor, dan Ubur-Ubur Lembur. Apakah yang lainnya tidak menarik? Bukan, melainkan bakal jadi panjang ceritanya di ulasan kali ini. Kalian siap baca ulasan yang panjang banget lebih dari ini?
Kisah bertajuk Di Bawah Mendung Yang Sama memiliki rasa cerita yang mengharu dan condong ke sedih. Dika menceritakan sahabat India-nya (Avirbhav ‘Kathu’) yang tinggal di dekat rumah. Sahabatan sejak kecil yang pertemuannya disaksikan hujan, berpisah ketika kelulusan SD dengan drama di bianglala Dufan, lalu setelah mereka dewasa akhirnya ketemu kembali di Jakarta. Pertemuan kedua kali ini punya cerita bagi keduanya, mengingat keduanya sama-sama sudah dewasa yang dalam obrolan dan reaksi pun bukan sekadar ‘main-main’. Kata ‘brother’ yang berarti saudara tidak sebatas kata yang lancar dilafalkan, melainkan Dika tunjukkan dengan menjadi sahabat terbaik dalam menerima Kathu kembali di Indonesia. Banyak cara yang dilakukannya untuk membuktikan itu semua. Sampai pada akhirnya Kathu harus kembali ke India, ikatan perasaan mereka bukan lagi seperti pertemanan antara orang Indonesia dan orang India, melainkan sudah berubah menjadi ikatan keluarga. Perpisahan kali ini pun sama beratnya bagi keduanya namun kehidupan masing-masing harus terus melaju, dan lagi-lagi disaksikan hujan.
Lalu, saya merasa ikut merasa takut tatkala membaca pengalaman Dika melakukan syuting untuk film Hangout (tahun 2017). Dia yang pada awalnya tidak percaya hal mistis (semua ada penjelasan logisnya) meski beberapa kali diceritakan kejadian janggal yang dialami kru lain selama syuting (pada bagian ini terkesan si Dika ini sombong banget sama hantunya), akhirnya dia kena tulah sendiri, digangguin mahluk tak kasat mata. Dan sewaktu berakhir Dika benar-benar melihat sosok anak kecil berwarna putih di semak-semak, saya malah pengen teriak, “Syukurin Lu!!!!”
Lain juga suasana kisah yang diberi tajuk Ubur-Ubur Lembur. Pada bagian ini pembahasan menjadi serius dan intim. Lho? Sebab Dika seakan curhat mengenai kehidupan dewasanya terkait karir yang digeluti. Dika ternyata lulus jurusan finance di Adelaide University dan sempat bekerja di perusahan media. Dia juga pengalaman ‘telak’ sewaktu menjadi orang baru di tempat kerja, dan pengalaman ini menyadarkan tentang makna bekerja di-bos-in orang. Dika pun memutuskan untuk membukukan tulisan di blognya dan karyanya itu dipinang penerbit GagasMedia.
“Gue melihat orang yang bekerja kantoran tapi nggak sesuai dengan minat mereka itu seperti seekor ubur-ubur lembur. Lemah, lunglai, hanya hidup mengikuti arus. Lembur sampai malam, tapi nggak bahagia. Nggak menemukan sesuatu yang membuat hidup mereka punya arti.” (hal. 226)
Ubur-Ubur Lembur menjadi catatan Dika yang pembahasannya lebih dewasa. Dari kacamata dia, hal yang terjadi dan ia alami punya makna dan hikmah. Saya akhirnya menyimpulkan (entah salah atau benar) jika pikiran anak-anak penuh kemurnian dan kepolosan, sedangkan pikiran dewasa penuh keluasan dan kebijaksanaan (seharusnya begitu). Dengan menuliskan sama saja mengingat kembali, dan dengan mengingat kembali kita seperti membaca ilmu dari ingatan kita. Wajarlah jika kita banyak merenung maka kebijaksanaan kita pun bertambah (semoga).
Saya termasuk pembaca yang belum tahu alasan Dika memilih judul buku-bukunya dengan kata jenis hewan. Sebut saja Kambing Jantan, Cinta Brontosaurus, Babi Ngesot, Marmut Merah Jambu, Manusia Setengah Salmon, Koala Kumal, dan buku terbarunya Ubur-Ubur Lembur. Apakah karena unyu? Atau karena ia penyukai binatang? Ada yang tahu alasannya?
Sejauh saya membaca buku Ubur-Ubur Lembur, saya kagum sama sosok Dika. Terlepas dari multitalenta yang dimiliki dan ia kembangkan hingga pantaslah dirinya digolongkan sebagai orang sukses dengan kehidupan dan pilihannya, saya mengakui jika Dika juga manusia biasa yang punya pengalaman beragam, susah-senang, bahagia-kecewa, berharap-tak terpenuhi, mencintai-jarang dicintai (uhk!). Namun, sebagai manusia biasa, Dika sudah membuktikan dirinya bisa menjadi gemilang berkat kerja keras. Lalu, saat ini mari kita pun berkaca, kita sama seperti manusia lainnya, dan bukan tidak mungkin kita pun bisa menggapai bintang yang kita mau.
Akhirnya, saya memberikan nilai 4/5 untuk buku yang bikin pembaca merasakan campur-aduk perasaan.