Judul: Sajak Rindu
Penulis: S. Gegge Mappangewa
Penyunting bahasa: Muridatun Ni'mah
Desain isi: Rudy Setiawan
Desain sampul: Andhi Rasydan
Ilustrator: Naafi Nur Rohma
Penerbit: Penerbit Indiva
Terbit: Desember 2016, cetakan pertama
Tebal buku: 296 halaman
ISBN: 9786026334084
Harga: Rp58.000
*******
Penulis: S. Gegge Mappangewa
Penyunting bahasa: Muridatun Ni'mah
Desain isi: Rudy Setiawan
Desain sampul: Andhi Rasydan
Ilustrator: Naafi Nur Rohma
Penerbit: Penerbit Indiva
Terbit: Desember 2016, cetakan pertama
Tebal buku: 296 halaman
ISBN: 9786026334084
Harga: Rp58.000
Blurb.
Vito namanya. Ia tinggal di Pakka Salo bersama mama dan kakeknya. Di usianya yang menjelang ketiga belas
tahun, rasa rindu itu membuncah meminta dituntaskan. Kerinduan pada ayah dan
Vino, adik kembarnya. Ada banyak sekali pertanyaan tentang keluarganya. Dan selama
ini mama dan kakek memilih menyimpan kenyataan itu. Sebenarnya ada masa
lalu apa hingga Vito dan Vino dipisahkan?
Ide cerita.
Gegge mencoba menghadirkan rasa
buku cerita yang saya baca ketika SD dan SMP. Cerita anak usia menjelang balig
dengan banyak kisah dan petualangan. Gegge menggabungkan nilai lokal masyarakat
Bugis, kebudayaannya, dan ajaran agama islam. Sehingga novel ini mengajak saya
untuk piknik ke daerah Pakka Salo.
Pakka Salo merupakan tempat yang
berada di Sulawesi. Digambarkan sebagai lokasi yang masih tertinggal dan alami.
Latar tempat sebuah desa membentuk satu gambaran kesederhanaan. Jujur, saya
banyak bernostalgia dengan kegiatan yang dilakukan murid-murid di cerita ini,
dan itu membuat saya merasa hangat sepanjang membacanya. Soalnya, saya juga
besar di sebuah desa yang masih sering berkabut.
Pemilihan tokoh kembar yang
dipakai Gegge untuk ceritanya, tidak mengikuti arus yang sudah dipakai penulis.
Bukan persaingan atau kekompakan. Melainkan hubungan saudara yang dipisahkan
dan akhirnya mereka menyimpan kerinduan.
Lalu apakah kerinduan itu akan tuntas dibayar? Baca saja bukunya. Saya
hanya bisa mengatakan, konflik yang dipilih Gegge sangat sederhana, sangat
mengharukan, sangat menyedihkan, tapi itulah yang disebut kehidupan.
POV. Plot. Karakter. Opini.
Gegge menggunakan teknik Sudut
Pandang Ketiga dengan menjalankan alur cerita campuran. Alur maju lebih fokus
pada perjalanan Vito dalam kesehariannya dan perjuangannya menuntaskan rasa
rindu. Sedangkan alur mundur akan membawa pembaca pada kisah roman Mamanya
Vito, Halimah. Dan saya beri bocoran sedikit ya, romannya sangat kompleks. Sebab
menyentuh kisah cinta beda agama juga.
Karakter utama buku Sajak Rindu ini adalah Vito. Ia anak tiga belas tahun yang
masih SMP. Pandai bercerita, jago memanjat pohon, bertanggung jawab, dan
sedikit nakal. Nakalnya itu mungkin akibat sangat kreatifnya. Bayangkan saja,
demi tidak masuk sekolah ia mengarang alasan kakeknya meninggal. Dan gara-gara
alasan ini ia harus didiamkan oleh Pak Amin, salah satu gurunya di sekolah.
Ada Kakeknya Vito yang selalu siap membela Vito dari Mamanya yang kerap
memukul sebab kenakalan yang diperbuatnya. Ia kakek yang penyayang. Sempat
dijelaskan sedikit, rasa sayang itu muncul sebagai penyembuh akibat rasa sakit
yang sempat ia terima pada masa lalu. Lalu, ada Mamanya Vito. Ia ibu yang bijak. Soal rasa sayang, ibu mana yang
tidak sayang sama anaknya. Apalagi setelah Mamanya Vito dipisahkan dari anaknya
yang lain, Vino.
Yang paling mencolok dari tokoh
sampingan ada dua. Pak Amin, guru di
SMP yang wawasannya luas, bijaksana, ilmu agamanya cukup mumpuni, dan tentu
saja memahami psikologis murid-muridnya. Saya kira untuk pembaca buku yang
profesinya guru, perlu membaca buku ini dan mengambil jalan pikiran Pak Amin
ini untuk proses mengajar dan mendidik murid. Ada Irfan, temannya Vito. Dia mendapatkan posisi yang mencolok akibat
satu peristiwa yang kemudian membuatnya punya penilaian berbeda tentang
cita-cita.
Tokoh sampingan lainnya masih
banyak, ada teman-teman sekolah Vito, ada Ibu guru Maulindah, Pak Saleng, dan
masih banyak lainnya.
Setelah membaca kisah Vito ini,
yang akhirnya menemukan perjumpaan yang ia inginkan, saya berharap ada buku
lagi yang mengambil sudut pandang Vino. Sebab, saya yakin Vino memiliki jalan
cerita yang sama bagusnya, yang sama mengharukannya. Sebab Vito dan Vino bisa
dikatakan korban dari orang tua yang berpisah. Dan kehadiran kisah Vino akan
melengkapi kisah hidup si kembar.
Adegan favorit.
Ada di bab 6; Diam Itu Emas
(hal.48 – 56). Setelah kebohongan yang dilakukan Vito dengan membawa kabar jika
kakeknya meninggal dan membuat perkemahan menjadi kacau, Pak Amin
mendiamkannya. Vito merasa bersalah. Tapi, dia bingung bagaimana cara untuk
meminta maaf kepada Pak Amin. Satu kejadian membuat Vito menghukum dirinya
sendiri. Ia lari mengelilingi lapangan, ia memanjat tembok setinggi tiga meter
dan melempari kelapa di pohon. Adegannya sangat dramatikal dan menyentuh. Saya
disadarkan pentingnya menyadari kesalahan untuk melapangkan hidup dan
mendamaikan hati.
“Biarin! Saya akan tetap melempar sampai Pak Amin menganggap ini adalah hukuman atletik yang setimpal untukku,” ucap Vito di antara nafasnya yang tersengal sambil terus melempar. (Hal.53)
Petik-petik.
Buku ini memiliki banyak sekali
pesan, utamanya untuk anak remaja. Saya akan coba menjabarkan sebagian saja.
Lengkapnya, sebaiknya silakan baca bukunya saja.
- Sebagai umat islam, pnting menghindari banyak syirik yang bentuknya sudah sangat samar. Seperti kebudayaan yang ada di masyarakat, terkadang sudah dicampur dengan kegiatan syirik tersebut.
- Beranilah untuk bermimpi dan mulailah untuk berjuang. Pada kisah ini diceritakan melalui tokoh Ibu Maulindah yang merupakan satu-satunya perempuan sarjana di Pakka Salo. Ibu Maulindah juga akhirnya terbang ke Jepang untuk meneruskan S2-nya.
- Berusahalah menjadi orang yang jujur. Sebab kejujuran akan membawa kemujuran.
Petikan.
- Aku berpesan kepada tiga golongan: kepada raja, hakim, dan pelayan masyarakat. Jangan sekali-kali engkau meremehkan kejujuran itu. Berlaku jujurlah serta peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas. Sebab kejujuran dan tutur kata yang baik itu memanjangkan usia. Oleh karena takkan mati kejujuran itu, takkan runtuh yang datar, takkan putus yang kendur, takkan patah yang lentur. (Hal. 88)
- Orang yang paling kerdil adalah orang yang tak punya cita-cita. (hal. 116)
- Orang yang pesimis tak akan pernah bisa berhasil. Sementara orang yang optimis, meskipun itu optimis dengan mimpi yang semua orang menganggapnya aneh, suatu saat akan berhasil. Kalaupun gagal, apa salahnya? Daripada tak pernah mencoba? (Hal. 116)
- Hati-hati dengan syirik! Allah adalah sebaik-baik tempat meminta pertolongan. (Hal. 129)
- Manusia hanya dianggap manusia jika dia menepati kata-kata yang telah diucapkannya. (Hal. 153)
Final. Rating.
Buku ini menyimpan banyak
kenangan bagi pembaca yang tumbuh di pedesaan. Dan akan menghadirkan pengalaman
piknik ke pedesaan bagi pembaca yang berasal dari perkotaan. Nilai-nilai yang
dikandungnya sangat pas diajarkan kepada anak remaja sebagai pelajaran
pembentuk karakter.
Akhirnya, buku Sajak Rindu karya S. Gegge Mappangewa
saya berikan rating 4/5.
Lain-lain.
Kovernya yang begitu gelap dengan
menghadirkan sosok anak laki-laki yang menghadap ke arah bulan, tidak begitu
memikat. Saya kira sebaiknya dipilihkan warna yang lebih dinamis, mengingat
karakter utamanya adalah anak remaja. Perlu menunjukkan sisi remaja yang masih
bergejolak baik dari warna maupun objek untuk kovernya.
Saya juga menemukan typo. Tapi, jumlahnya yang tidak banyak, buat saya tidak mempengaruhi proses membaca. Misalnya, Pusekesmas = Puskesmas (hal. 63).
Buku Sajak Rindu juga menyisipkan banyak sekali kebudayaan masyarakat Bugis. Misalnya, upacara pernikahan, cerita-cerita mistik, cerita sejarah masa lalu, dan pengetahuan. Misalnya, di halaman 141 diuraikan mengenai jenis hama Kepik Hitam.
[ Untuk kalian yang ingin membaca buku ini juga, jangan lupa ikutan giveawaynya ya. Ada 1 eksemplar buku Sajak Rindu karya S. Gegge Mappangewa yang akan saya kirimkan buat kamu yang menang. ]
Nice novel :)
BalasHapusIya. Terima kasih ya :)
Hapus