Judul: Puya Ke Puya
Penulis: Faisal Oddang
Penyunting: Christina M. Udiani
Ilustrasi: Pramoe Aga
Perancang sampul: Teguh Erdyan
Penata letak: Dadang Kusmana
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit: 2015
Tebal buku: xii + 218 halaman
ISBN: 9789799109507
Harga: Rp50.000
Penulis: Faisal Oddang
Penyunting: Christina M. Udiani
Ilustrasi: Pramoe Aga
Perancang sampul: Teguh Erdyan
Penata letak: Dadang Kusmana
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit: 2015
Tebal buku: xii + 218 halaman
ISBN: 9789799109507
Harga: Rp50.000
Penilaian bagus terhadap novel Puya Ke Puya ini, sudah saya tahu dari
lama. Selain membawa rasa lokal, masyarakat Toraja, novel ini menggali banyak
sisi kehidupan. Berangkat dari kematian Rante Ralla yang mengharuskan anak
sulungnya, Allu Ralla, menggelar upacara kematian, cerita digiring ke berbagai
lini. Puya sendiri maknanya alam
tempat menemui Tuhan (hal.3).
Upacara kematian atau yang
disebut Rambu Solo, bisa menelan
ratusan juta untuk melaksanakannya. Allu Ralla yang seorang mahasiswa,
mempunyai pikiran yang lebih terbuka. Apakah
adat harus membebani? Pertanyaan ini yang akhirnya memutuskan Allu untuk
tidak menggelar perayaan rambu solo.
Pikirannya itu ditentang oleh
pamannya. Kegigihan melawan adat yang membebani kalah oleh cinta pertama. Allu
yang didesak menikahi Malena, menelan semua idealismenya. Ia menjual tanah
warisan, ia mencuri jasad bayi, dan ia menjadi pemuda yang berbeda. Selain
konflik yang disulut upcara rambu solo,
Puya Ke Puya menambahkan konflik besar tentang penambangan nikel yang dilakukan
di Toraja.
Saya sangat puas dengan eksekusi
cerita yang dilakukan penulis. Ia membuat semua ketegangan yang disusun pada
awal cerita, luruh di akhir. Proses menebarkan banyak masalah yang dikuliti di
awal cerita, membuat saya sendiri sangat penasaran akan ada kejadian apa lagi.
Misalnya, kasus pembunuhan Rante Ralla. Awalnya saya sangat penasaran dengan
pelaku dan motifnya. Penyelesaian yang dilakukan Faisal sungguh menjawab. Tapi
tidak sampai disitu saja. Berikutnya, bagaimana perasaan keluarga Rante Ralla,
Allu Ralla dan Tina Ralla? Ini jadi klimaks tersendiri dan itu mendebarkan.
Masih banyak konflik lainnya yang lebih seru.
Puya Ke Puya menggunakan sudut pandang yang berbeda. Faisal
mengombinasikan sudut pandang roh leluhur, Rante Ralla, Allu Ralla, dan Maria
Ralla. Yang patut diapresiasi adalah ide membuat perpindahan sudut pandang yang
tidak ribet. Penulis mengakali dengan tanda bintang yang konsisten menunjukkan
itu jatah sudut pandang siapa. Tanda bintang satu (*) untuk Rante Ralla, tanda
bintang dua (**) untuk Allu Ralla, dan tanda bintang tiga (***) untuk Maria
Ralla.
Untuk plot sendiri, Puya Ke Puya memakai plot campuran.
Dominan masa lalu, berupa kilas balik masing-masing tokoh. Keuntungannya,
pembaca dibuat penasaran dengan awal cerita, dan diberikan jawaban sepanjang
perjalanan membaca hingga akhir.
Penokohan sendiri sangat kuat.
Sebagai pemilik sudut pandang (Rante Ralla, Allu Ralla, Maria Ralla) sudah
dikemas apik. Rante Ralla sebagai
sosok ayah, diperlihatkan jalan pikirannya yang bijak, meski pun beberapa sisi
ada bagian yang kolot. Allu Ralla
sebagai pemuda berpendidikan dan masih muda mengalami banyak gejolak. Bisa
dikatakan ia sosok yang labil dan itu dimaklumi karena dipengaruhi banyak
faktor di sisi luar. Maria Ralla
sebagai adik Allu yang meninggal semasa belum tumbuh gigi, pikirannya sangat
sederhana. Walau di cerita dikatakan adanya pertumbuhan yang dialami Maria,
sampai usia 17 tahun, Maria masih jadi sosok yang tidak mengenal tulisan dan
berpikir sebatas pengetahuan yang ia lihat, ia dengar dan ia rasakan.
Karena banyak sisi kehidupan yang
digali penulis, Puya Ke Puya memiliki
pesan yang banyak sesuai konflik yang diperlihatkan. Namun, secara umum, Puya Ke Puya mengajak pembaca untuk
melakukan sesuatu dengan cara yang baik agar hasilnya baik.
Sepanjang novel ini akan ditemukan banyak istilah lokal masyarakat Toraja. Penulis menggandengkannya dengan penjelasan bahasa indonesia sehingga tidak perlu catatan kaki. Membuat fokus pembaca tidak melebar kemana-kemana.
Catatan saya justru pada kovernya
yang terlalu sederhana. Jika diperhatikan, gambar siluet orang yang sedang
menaiki tangga, sangat memiliki kaitan dengan cerita. Ibarat orang yang sedang
melakukan perjalanan menuju Puya.
Rating dari saya: 4/5
Ada unsur lokalitasnya? Toraja?
BalasHapusEh bukannya di novel faisal odang yang seri #indonesiana itu juga masukin unsur lokalitas daerah Toraja? Bener gak, seingetku gitu. Atau itu buku yg lain ya? Ah lupa. Hahaha.
Btw faisal odang ini denger2 buku2nya bagus juga ya? Puya ini sempat hype beberapa waktu lalu hehe
Judulnya Pertanyaan Kepada kenangan. Masih pakai adat Rambu Solo yang jadi konfliknya. Tapi dengan tokoh yang berbeda.
HapusIya, bagus-bagus, padahal penulisnya masih muda lho!
Aku juga pengin baca buku ini, belum dapat pinjaman ya maybe nanti-nanti saja bacanya. Hahaha. Aku selalu suka lihat tata cara adat Rambu Solo di tv, yang aku tahu hanya orang-orang yang dihormati-dan biasanya sangat kaya di desa tersebut yang bisa melaksanakan adat super mahal ini.
BalasHapusTrims untuk ulasannya :)
Adat Rambu Solo ini sebenarnya semacam keharusan agar arwah bisa diterima ke Puya. Hanya ada tingkatannya, ada yang pakai sapi, pakai kerbau, atau hanya babi saja. Kebetulan Rante Ralla ini kepala adat, mau tak mau harus dengan perayaan yang besar.
HapusSama-sama ya, dan semoga segera bisa baca bukunya.