Judul: Alang
Penulis: Desi
Puspitasari
Editor: Triana
Rahmawati
Cover: Resoluzy Media
Penerbit: Penerbit
Mahaka Publishing
Cetakan: Pertama,
Juni 2016
Tebal: iv + 235
halaman
ISBN: 9786029474091
Harga: Rp55.000
Novel Alang menceritakan tentang memperjuangkan mimpi.
Melalui tokoh Alang, April, dan Arif, penulis menggambarkan sisi-sisi yang
beragam mengenai cara menyikapi cita-cita. Alang adalah anak dari tukang becak.
Ia suka musik dan kemudian ia belajar tekun bermain gitar. Perjuangannya
menjadi musisi terhalang oleh ketidaksetujuan Bapaknya. Di pikiran Bapaknya,
seniman tidak akan membuat hidup menjadi layak dan kaya. Pertengkaran dan
perang dingin menjadi jurang antara Alang dan Bapaknya. “Begitulah bila terlalu menggemari kesenian. Tidak akan memberi hasil
apa-apa kecuali keburukan!” (hal. 19).
Berbeda dengan Alang, April mengalami tekanan batin dalam
keluarga. Mamanya selalu membandingkan prestasi April dengan kakaknya, Mbak
Kartika. Pilihan masa depan menjadi penyair pun ditentang sang Mama. April pun
memperjuangkan mimpinya hingga ia harus rela drop out dari kuliah kedokteran demi mengejar impiannya itu.
Arif punya kisah sendiri. Ia yang jadi cucu dari kakek
mantan tahanan politik pada masa lalu, masa depannya sudah suram. Orang yang
memiliki keterkaitan dengan sejarah tahanan politik tidak punya kesempatan
untuk menjadi sukses. Dengan kondisi begitu, Arif melihat hidupnya dengan
sangat realistis. Selepas lulus SMA, Arif memilih bekerja dari pada kuliah.
Apakah benar semua cita-cita harus diperjuangkan?
***
Poin besar novel ini membicarakan mengenai pandangan
terhadap seniman. Citra menjadi seniman tidak bisa kaya, memang sudah berakar
dari zaman dulu. Dan penulis mencoba memberi jawaban pada paradigma tadi. Dengan
tema keluarga, persahabatan, roman, dan seni, penulis membuat kemasan yang
bagus sehingga pada beberapa bagian cerita bisa membuat saya berkaca-kaca.
Klimaks cerita merangkap di eksekusi cerita. Setelah
perjalanan panjang Alang mengejar cita-citanya, ia kembali ke titik dimana
semua dimulai dan memutuskan memulai kembali. Adegan ini sukses membuat saya
nangis. Saya paham pergulatan batin Alang yang menentang pendapat Bapaknya.
Tidak ada yang mudah jika berkaitan dengan perusakan hubungan keluarga. Saya
punya pengalaman sendiri, dan karena itu mudah sekali cerita di novel ini
mempengaruhi emosi saya (dan emosi kalian). “Alang...”
suaranya serak. “..minta maaf... nyuwun ngapunten.” (hal. 233).
Untuk setting
cerita yang mengambil kota Madiun dan Jakarta, belum tergali maksimal. Saya
tidak bisa menggambarkan lokasi-lokasi ketika tokoh-tokoh tadi diceritakan.
Setahu saya, Madiun menjadi lokasi yang asri dan tenang, sedangkan Jakarta
penuh dengan kekacauan. Dengan modal pengetahuan ini, saya coba meresapi
kisahnya.
Tokoh utama novel ini adalah tiga karakter yang di awal saya
sebutkan; Alang, April, dan Arif. Alang
itu pemuda yang pekerja keras dibuktikan dirinya mau mencari belalang demi
tujuan punya recorder, keras kepala
karena ia tetap kuliah jurusan musik meski Bapaknya tidak pernah setuju,
sedikit labil ketika dibutakan perasaan suka pada April sehingga sempat
menanggalkan daya juang mengejar cita-citanya, dan berani meminta maaf dan
memaafkan ketika kesadaran menghampiri
mengenai kekeliruan yang sudah ia lakukan.
April itu gadis
yang jutek dan tegas untuk urusan pergaulan sehingga semasa SMP dan SMA ia
tidak punya banyak teman, tekun dan berpikir sempit untuk pendapatnya kenapa
pelajaran sastra di sekolah jamnya sedikit hingga ia kerap menggunakan jam
pelajaran lain untuk mengasah kemampuan menulisnya, dan mudah terpengaruh
keadaan ketika fasilitas orang tuanya dicabut, ia kelimpungan untuk mengejar cita-citanya
lalu lebih memilih mundur.
Arif itu pemuda
yang realistis dan pesimis. Ia selalu berpikir untuk hidup berada di area
jangkauannya dan tidak pernah memimpikan hal diluar kemampuannya. Sehingga
kehidupan Arif terbilang stagnan. Sedangkan karakter lain yang berkesan buat
saya ada Siska, Mia, dan Ibunya Alang.
Kover novel Alang terbilang sederhana. Hanya gambar gitar
saja yang punya korelasi dengan isi cerita. Dan saya tidak bisa berkomentar
pemilihan kover dengan gaya lukisan cat air ini (di mata saya terlihat begitu)
karena penerbit memang punya ciri demikian untuk buku-bukunya. Padu padan
pemilihan warna setidaknya tidak membuat mata sakit dan itu sudah lebih dari
cukup sebagai kover yang aman.
Pesan yang coba disampaikan penulis adalah untuk realitis
menggantungkan mimpi dan mengejarnya dengan penuh tanggung jawab. Sebab tanpa
kerja keras, mimpi akan tetap jadi mimpi yang suatu hari akan menghadirkan
penyesalan. Dan penulis juga menegaskan pentingnya untuk serius bersekolah.
Rating dari saya: 3/5
Catatan:
- Kenyataan hidup yang keras sering kali tanpa ampun mengubah penampilan seeorang dengan cepat. [hal. 4]
- Dalam menjalani kenyataan, tak elok dan tak ada manfaatnya bila terlalu sering berkata ‘seandainya’. [hal. 8]
- “Hidup di dunia nyata mengajarkan bahwa yang dibutuhkan dalam hidup ini sesungguhnya hanya duit!...” [hal. 26]
- “... Kau harus bercita-cita tinggi. Pergi ke luar negeri. Menjadi pemusik seperti Jimmy Hendrix yang musiknya sangat begitu progesip.” [hal. 38]
- Tapi tidak semua keberhasilan terwujud karena bakat. [hal. 40]
- “Orang pandai karena mau belajar dan latihan. Tidak cuma masalah bakat.” [hal. 41]
- Imajinasi seringkali membantu memberi dorongan seseorang untuk meraih mimpi. [hal. 71]
- “Pekerjaan yang tidak memiliki masa depan hanyalah yang tidak diusahakan dengan sungguh-sungguh.” [hal. 77]
- Seorang ibu bisa begitu misterius, mengerti segala hal yang dirahasiakan anaknya entah dari mana. [hal. 92]
- Menjadi dewasa memang prihal berani mengambil keputusan dengan segala resikonya. [hal. 153]
- Jatuh cinta barangkali memang membuat orang-orangnya menjadi bodoh. [hal. 182]
- “Orang-orang gagal adalah mereka yang bersemangat hanya pada awalnya saja. Keinginan kuat itu akan menurun seiring berjalannya waktu –mereka sadari atau tidak.” [hal. 205]
0 komentar:
Posting Komentar