Segar, itu yang saya rasakan membaca novel ini. Banyak keunggulan yang
dimunculkan penulis sehingga membaca menjadi kegiatan yang dinamis. Pengetahuan
musik pun menjadi bobot yang menambah pengetahuan pembaca, saya.
Judul: San Francisco
Penulis: Ziggy
Zezsyazeoviennazabrizkie
Editor: Septi
Ws
Desain sampul: Teguh
Ilustrator isi: Tim
Desian Broccoli
Penata isi: Tim
Desain Broccoli
Penerbit: PT
Grasindo
Terbit: Juli
2016
Tebal buku: iv
+ 220 halaman
ISBN: 9786023755929
Harga buku: Rp60.000
Satu-satunya yang menarik dari cowok
bernama Ansel adalah badannya yang tinggi, kegemarannya akan musik klasik, dan
senar-senar harpa di ujung jarinya. Ansel bekerja di Suicide Prevention Center,
bertugas mengangkat telepon, hingga akhirnya ia menemukan hal menarik yang
baru: Rani – gadis dari negeri asing yang mengiris nadi setiap dua hari sekali.
Sekarang sebagian besar kehidupan
Ansel berputar di sekitar Rani. Dan, Ansel bertanya-tanya apakah pertemuan
mereka di Golden Gate Bridge San Francisco adalah takdir, atau sekedar
kesialan? Karena dari sini, mobil kabel yang membawa kisah mereka bisa saja
menanjak terus hingga setengah jalan menuju bintang, atau justru terjebak dalam
kabut di atas perairan biru dan berangin San Francisco.
***
Jujur saja, saya merasa jalan cerita
pada novel ini dibuat buram oleh ‘pritilan’ mengenai musik klasik dan informasi
di dalamnya, entah kisah penciptaan musiknya, atau kisah hidup si penciptanya.
Sehingga benang merah yang seharusnya menonjol, tidak begitu saya rasakan. Emm,
tepatnya, saya seharusnya mendapatkan banyak momen berkesan dari alur yang
diciptakan. Singkat saja, novel ini sebenarnya soal tokoh punya pacar – ketemu tokoh
lain yang punya pacar –merasakan rasa sayang – memilih akan bagaimana. Itu
saja, tapi bisa menjadi novel 200-an halaman karena banyak dialog tambahan. Kalau
saya harus mencari momen atau adegan mana yang favorit, saya harus katakan
tidak ada. Sorry...
Di penyajian ide cerita yang tidak
memikat versi saya, saya harus mengakui jika penulis bercerita dengan sangat
baik. Penulis seperti memilih adegan-adegan yang tidak biasa sehingga rasa yang
ditimbulkan dari plot maju itu, tidak normal. Contoh adegan yang membuat saya
kaget, ketika Ansel tidur di apartemen Rani kemudian bangun pagi dan mendapati
di sampingnya ada sosok pemuda. Saya sempat kaget siapa si pemuda itu, dan
bukannya harusnya Rani yang tertidur di samping Ansel, begitu kalau di
novel-novel penulis lain, biasanya. Dan masih banyak lagi adegan yang tidak
normal lainnya. Juga, diksi yang dipakai penulis sangat – sangat lugas dan saya
seperti membaca novel terjemahan. Efeknya tentu saja tidak akan bosan baca
sampai halaman terakhir.
Karena seri novel ini mengangkat
kota istimewa yang dibalut kisah cinta, kota San Francisco tidak terkulik
total, menurut saya. Hanya spot jembatan Golden
Gate Bridge yang dimunculkan. Kelirunya jelas, karena musik klasik itu yang
mendominasi dan hampir memenuhi objek cerita yang menghidupkan kisah Ansel dan
Rani. Saya tidak kemana-kemana dan saya disuguhi musik yang tetap asing. Itu
jelas masalah sebab saya harusnya membaca buku ini serasa piknik.
Saya juga perlu berterima kasih
kepada penulis oleh dialog bahasa inggris yang kemudian ia terjemahkan. Sumpah,
kalau pola demikian tidak dipilih oleh penulis, saya lebih memilih segera menutup
novel dari pada pusing. Makanya, ini pola yang renyah dan nyaman. Thanks to you, Ziggy!
Ansel itu tidak spesial, penyuka
musik klasik. Di novel ini, di mata saya, perannya hanya sebatas penyampai
cerita dan salah satu benang warna yang dihubungkan dengan karakter lainnya
yang lebih berkesan. Rani itu sensitif, suka putus asa, dan bisa jadi negatif
thinking. Hasrat bunuh diri itu parameternya. Kok bisa sedepresi itu sehingga bunuh
diri baginya sangat normal? Tokoh favorit jatuh pada Benji, serba selalu bisa,
tidak egois, dewasa dengan caranya, dan tentu saja unik. Lalu tokoh samping
lainnya; Ada, Gretchen, Dexter, Maria, teman-teman band Benji, punya porsi yang pas
di cerita, tidak ada yang berusaha mendominasi.
Lalu menilik kovernya yang merah,
ini elegan. Ah, seperti kover Roma karya Pia Devina. Tentu saja, saya suka
kover-kover seri A Love Story yang lainnya juga. Terasa baru dan aman buat saya
sebagai pembaca pria ketika meletakkannya di meja kerja dan bukan tidak mungkin
dilihat orang lain.
Kemudian yang saya terima sebagai
pesan moral di sini adalah mencintai itu tugas yang tidak bisa dibarengi egois.
Tidak semua yang kita perjuangkan akan diberikan Tuhan sebagai reward. Termasuk jodoh. Seberapa kita
ingin bersama si A, lalu Tuhan menulis takdir jodoh dengan si Z, maka itulah
yang akan terjadi. Maka, terimalah jalan cerita hidup seaneh apa pun dengan
pikiran yang luas. Di situ akan ditemukan rasa syukur jika ini bagian hidup terbaik
yang dirancang Tuhan.
“Ini cuma pemikiranku saja, tapi menurutku tidak semua orang harus menikahi orang yang dicintainya, tidak semua orang harus mendapatkan pekerjaan yang sesuai untuknya, atau menjadi orang yang selalu diinginkan. Kau harus selalu ingat kalau, bahkan dalam buku cerita, setelah ‘akhir yang bahagia’, semua tokoh harus meneruskan hidup mereka. ‘Akhir yang bahagia’ itu cuma fase, dan ia akan segera berakhir.” [hal. 201]
Rating dari saya: 3/5
Catatan:
- “Maksudku, sulit kalau dia tidak menyukai sesuatu yang merupakan fondasi seluruh kehidupanku, paham tidak? Orang-orang yang sangat berbeda bisa saja tetap hidup bersama, tapi kalau mereka bertentangan dalam hal paling dasar, sepertinya sangat sulit dijalani.” [hal. 198]
- “Benar. Itukan seperti penyalahgunaan kekuatan. Yah, kurasa dia mau orang menyukainya bukan karena dia membuat mereka merasa seperti itu. Dia mau orang menyukainya karena mereka memang menyukainya. Tanpa alasan, tanpa syarat.” [hal. 116]
- “Aku membentuk, menyulut, membakar, memukul, menjepit... Logam-logam yang kukerjakan mungkin menyakitiku, tapi aku juga menyakiti mereka. Yang melukaimu mungkin juga sama hancurnya denganmu. Tapi, mungkin kaliansama-sama merasakan sakit karena kalian dalam proses penciptaan sesuatu yang luar biasa. Kalaun kau memutuskan untuk mundur, kau merasa sakit dengan sia-sia.” [hal. 114]
Alhamdulillah San Francisco dari grasindo uda dateng, nunggu antri dibaca aja heheh
BalasHapusSemoga ceritanya unik, seunik nama penulisnya heheh
Yeay, selamat membaca Bintang!! :)
HapusIya nih, nama penulisnya unik dan panjang, belibet pas ngetik namanya, haha :)
Kemarin nyari ga nemu yg San Francisco ini, padahal yg seri A Love Story lain pada ada. Padahal sealmamater dan termasuk mahasiswa telat lulus, tapi belum pernah ketemu langsung sama Ziggy.
BalasHapusWow... kalian adalah penulis-penulis keren. Coba atuh ajak kenalan kalau sealmamater mah hehe :)
Hapus