Sebuah Usaha Melupakan bukan bacaan
menyenangkan untuk saya. Mungkin bacaan menyenangkan untuk kalian. Ada jiwa
pecundang untuk ‘Aku’ yang membuat saya tidak sepaham. Dalihnya karena cinta
yang teramat dalam. Namun bagi saya, cinta tidak perlu melemahkan dan kemudian
meratapi berkepanjangan. Cinta itu permainan hidup yang sebenarnya bisa
dipahami oleh hati sekaligus oleh otak.
Judul: Sebuah Usaha Melupakan
Penulis: Boy Candra
Penyunting: Dian Nitami
Proofreader: Agus Wahadyo
Desain cover: Budi Setiawan
Penata letak: Didit Sasono
Terbit: 2016
Penerbit: Mediakita
Tebal buku: ii + 306 halaman
ISBN: 9789797945206
Harga: Rp 65.000
Cinta itu perpaduan antara cinta sekali dan
benci sekali. Ini tentang ‘Aku’ yang pada mulanya memuja ‘kamu’ dengan segenap
hati. Kemudian mengutuk ‘kamu’ karena cinta yang tak berjalan sesuai keinginan.
Sebuah Usaha Melupakan adalah buku Boy
Candra yang pertama saya baca. Buku bergenre non-fiksi. Dan saya harus jujur,
ini bukan perkenalan yang baik.
Saya menangkap isi buku Sebuah Usaha
Melupakan sebagai jurnal percintaan si ‘Aku’. Di mulai dari manisnya hubungan
yang terjalin meski LDR. Kemudian melahirkan banyak harapan dan janji.
Berlanjut pada konflik hubungan dengan adanya orang ketiga, lalu berakhir pada
penyembuhan hati yang terluka.
Karena buku ini ditulis penulis pria, ritme
percintaan yang dialami si ‘Aku’ mempresentasikan cinta yang tidak biasa. Di
mata saya, si ‘Aku’ jadi sosok pecundang. Terlalu egois untuk memiliki cinta
namun tidak berjuang sepenuh hati. Menurut si ‘Aku’, perjuangannya sudah sangat
maksimal.
Yang membuat saya tidak menyukai isi buku
ini adalah:
Pertama, si ‘Aku’ menuliskan bagaimana rasa
cintanya yang terlalu dalam, terkesan hanya kuat di kata-kata. Saya sudah
meyakini kalau si ‘Aku’ akan gagal karena perempuan itu butuh cinta yang wajar.
Perempuan memang suka kalimat manis namun perempuan punya kadar rasa manis yang
diingininya. Dan apa yang dirasakan si ‘Aku’ yang begitu besar membuatnya lupa
bagaimana membuat si perempuan bisa nyaman, senang dan bahagia. Katakan saja si ‘Aku’ sebagai pembual.
LDR bisa menjadi sebab. Tapi apa yang
dilakukan si ‘Aku’ seharusnya tidak menghalanginya untuk bertemu si perempuan
paling tidak dua kali sebulan. Si ‘Aku’ sibuk membenarkan alasannya kerja
sebagai perjuangan untuk si perempuan. Dan saya pun tidak setuju sebab bagi
perempuan kebanyakan menganggap kehadiran pasangan sebagai kebahagiaan.
Kedua, saya paham jika kemapanan banyak
dicari perempuan dari pasangannya. Memulai fokus bekerja ketika memutuskan
memiliki pasangan bisa disebut kesalahan. Baiknya, sebelum memiliki pasangan, kemapanan sudah di tangan. Kadang waktu yang dihabiskan untuk meraih kemapanan
akan menunda berlangsungnya hubungan serius. Contohnya menunda pernikahan.
Padahal bukan rahasia lagi, perempuan butuh kepastian.
Ketiga, pandangan si ‘Aku’ terhadap si
perempuan yang berubah-ubah. Pada awalnya, si ‘Aku’ sangat memuja dan memuji si
perempuan dengan kalimat-kalimat indah. Begitu hubungan mereka rusak, si ‘Aku’
menghujat dan memaki si perempuan seperti lupa dahulu pernah memuji dan
memujanya. Ini membuat saya merinding lantaran betapa konyolnya si ‘Aku’. Seolah-olah si 'Aku' tidak menyadari keberadaan takdir jodoh yang ditentukan Yang Maha Esa.
Kau bukan orang yang layak diperjuangkan sepenuh hati. [hal. 153]
Waktu akan mengutukmu, hingga tak ada satu hal pun yang menjadi bahagia yang bersedia mengetuk dadamu. [hal. 160]
Di luar isi buku, saya menyukai bahasa yang
digunakan penulis. Banyak kalimat indah, banyak kosa kata manis, yang membuat
saya betah membacanya. Sedangkan cover bukunya, lumayan memberi gambaran mengenai
isi di dalamnya. Bahkan saya berpendapat mengenai kenapa di cover-nya muncul
sosok anak-anak. Itu seakan ingin menunjukan jika si ‘Aku’ memang masih bersifat dan
bersikap kekanak-kanakkan.
Hal berguna membaca buku ini, mengajarkan
kepada banyak pria untuk lebih memahami sisi perempuan masa kini. Mereka
cerdas, mereka pintar, cinta saja tidak cukup membuat mereka mau diimami kita.
Sebab hidup bukan butuh cinta saja, tapi butuh materi juga. Dan sebesar apa pun rasa cinta yang dimiliki pria untuk wanita, jika si pria hanya mengumbar lewat kata-kata saja tanpa ada aksi yang nyata, itu alasan kuat kenapa si wanita berhak menolak si pria dan mencari pilihan yang lain.
Akhirnya, rating yang bisa saya berikan
sebesar 2 bintang dari 5 bintang.
Ini penulisnya Senja Yang Membawamu Pergi terbitan Gagas itu juga kan? Penasaran sih sama tulisannya, tapi kalo dilihat dari riviu ini kok jadi berubah pikiran ya? Masih awam banget soalnya dg karya2 si penulis
BalasHapusIya betul, Boy Candra adalah penulis Senja Yang Membawamu Pergi. Entah untuk buku ini saya lebih banyak tidak sukanya. Tapi saya penasaran dengan karya fiksinya. Mungkin lebih bagus.
HapusGua udah baca buku ini kemaren waktu di rumah temen dan jujur aja, meskipun gua ga gitu suka sama tulisannya, gua lebih ga suka lagi sama jalan pemikirannya. Gua juga pernah ditolak, putus cinta, dan terluka, tapi yg berbeda dengan sang "Aku" di buku ini, gua tidak melupakan dengan cara membenci. Gua melupakan dengan cara merelakan, dan itu lebih bisa memberi kedamaian buat pikiran gua ketimbang dengan cara membenci
BalasHapusCinta itu, adalah merelakan orang yg kamu cintai berbahagia, meskipun bukan kamu yg menjadi sumber kebahagiaannya =)
Iya, saya juga setuju. Sebab sesakit apa pun, bukan gaya pria mengumpat dan memaki pasangan. Ah, kadang bingung dengan jalan pikiran si "Aku" di buku ini.
HapusSetuju euy, merelakan mantan bahagia meski bukan dengan kita. Namanya adil. hehe :)
Buku ini kalau kulihat dari reviewnya serupa dengan Setelah Kamu Pergi karya Dwitasari. Jika sudah berkenalan dengan Boy Candra akan didapat rasa yang cukup sama dengan buku Setelah Kamu Pergi. Gaya bercerita menggunakan cara ke Aku-an, emnggunakan kata-kata indah dan ungkapan perasaan yang dalam. Memang salah satu hal paling sulit dari menulis fiksia adalah mempertahankan konsistensi sikap karakternya.
BalasHapusSebenarnya boleh saja menulis ke-Aku-an. Tapi harus ingat batasan pula. Kalau POV-nya cowok, ya jangan terlalu mendalami dan kelihatan memprihatinkan. Saya kayaknya kapok membaca buku setipe ini. Hehehe.
Hapus