Resensi Kumcer Sengkarut - Natsume Soseki, Edogawa Ranpo, Kajii Motojiro, Ogawa Mimei

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]



Judul:
Sengkarut

Penulis: Natsume Soseki, Edogawa Ranpo, Kajii Motojiro, Ogawa Mimei

Penerjemah: Asri Pratiwi Wulandari, Armania Bawon Kresnamurti, Mega Dian P.

Desain sampul: @sukutangan

Penerbit: Mai

Terbit: April 2021, cetakan kedua

Tebal: 100 hlm.

ISBN: 9786237351597


Melanjutkan membaca buku tipis dari Penerbit Mai, kali ini saya menjajal kumpulan cerita pendek dengan tajuk Sengkarut. Judul buku ini jika dicari artinya, saya hanya mendapatkan makna lain yaitu 'berjalinan'. Dan begitu selesai membaca semua cerpennya, saya masih tidak paham arti judul Sengkarut dengan keenam cerpennya.

Kovernya yang begitu artistik menyisipkan simbol-simbol yang ada di cerpen-cerpennya, seperti malaikat, pohon sakura, buah lemon, rumput dengan daun agak lebar, dan kursi. Dan latar belakang hitam pada kovernya seperti menegaskan jika semua cerpennya memiliki nuansa pilu dan sedih. 

*

Malaikat Permen Cokelat (Ogawa Mimei) menceritakan tentang sudut pandang gambar malaikat pada bungkus permen cokelat tentang perjalanannya dari mulai keluar dari pabrik di Tokyo hingga ia bisa kembali ke Tokyo setelah dititipkan lama di warung di daerah yang jauh. Saya melihatnya malaikat merekat di bungkus permen seperti tugas dan bakal tuntas kalau bungkusnya dibuang sehingga malaikat tadi bakal terbang naik ke langit. Perjalanan yang menarik sekaligus menantang sebab nasib beberapa permen cokelat harus berada di desa yang miskin. Otomatis permen tadi akan terlalu lama berada di toples karena tidak ada yang membelinya. Bayangkan saja sendiri ya bagaimana perasaan si malaikat itu.

Meski begitu, malaikat tak dapat terhindar dari perasan senang juga perasaan sedih selama berada di bumi sebelum jiwa mereka melayang jauh ke langit biru (hal. 6)

*


Cerita Lemon (Kajii Motojiro) membahas soal keresahan seseorang akibat keinginan yang tidak bisa dijangkau. Dan dia menemukan buah lemon di toko buah yang secara ajaib bisa meredakan keresahannya. Di cerita ini saya setuju dengan penggambaran bagaimana rasanya mempunyai keinginan tapi tidak tergapai dan mau tidak mau harus menekan perasaan itu yang seperti gumpalan di dada. 

Saat kita mengalami hal itu, pasti kita akan merasa tidak tenang. Melakukan ini tidak menyenangkan, melakukan itu juga tidak menyenangkan. Sekalipun kita melakukan hobi yang menurut kita akan menyenangkan, tapi biasanya itu tidak akan berhasil. Karena biasanya yang bisa meredakan keresahan tadi ya berupa dipenuhi keinginan itu. 

Yang menarik di cerita Lemon ini adalah karakternya yang doyan berkhayal. Secara enggak langsung seperti memberi pesan kalau kita harus berhati-hati dengan khayalan sebab jika terlalu ngawur akan jadi keinginan berupa obsesi yang jika dipelihara terus akan menggerus kebahagian kita dan melahirkan keresahan setiap waktu.

*

Pada cerita Rumput Racun (Edogawa Ranpo) ada sentilan soal orang tua yang memiliki banyak anak namun tidak bisa mencukupi kebutuhannya. Digambarkan juga bagaimana peliknya jadi ibu yang memiliki anak banyak dan rentang umur tiap anaknya berdekatan.

Usiaku sudah tidak muda, aku harus menggendong bayiku yang baru lahir di depan dan bayiku yang berusia tiga tahun di punggung, lalu masih harus mencuci dan memasak. Sekarang saja suamiku sudah membentak-bentak setiap malam, mungkin dia akan membentak-bentak lebih keras lagi. Putriku yang berusia lima tahun akan semakin histeris (hal. 37).

Cerpen ini membahas dua sahabat yang pergi ke padang rumput lalu salah satunya bercerita mengenai rumput yang bisa dipergunakan untuk aborsi. Dan mereka menggibah soal istri tukang pos yang punya banyak anak, ditambah sekarang sudang hamil lagi, dan mengalami kerepotan setiap waktu. Saat mereka mau pulang karena sudah gelap, mereka menemukan istri tukang pos di belakang mereka. Gara-gara ini si tokoh utama risau dan yakin kalau istri tukang pos sudah mendengar obrolannya. Dan saat ia memastikan soal rumput itu, benar saja sudah terpotong.

*

Cerita Di Bawah Pohon Sakura (Kajii Motojiro) jadi cerpen paling singkat di buku ini. Ini membahas soal khayalan tokoh 'aku' yang membayangkan kalau di balik keindahan bunga sakura yang mekar sebenarnya dipupuk oleh mayat di bawah akarnya. Saya bisa menduga kalau deskripsi soal mayat di bawah akar pohon sakura hanya bayangan karena ada kalimat ini, "Mayat, yang mengambang dalam benakku, dalam imajinasi yang tak kuketahui asal-usulnya ini, sekarang laksana menyatu dengan pohon sakura, tak mau beranjak pergi meski kuguncang-guncang kepalaku" (hal. 48 - 49)

*

Ada yang pernah mendengar bunyi-bunyi aneh saat dirawat di rumah sakit? Dalam cerita Bunyi Misterius (Natusme Soseki) memaparkan pengalaman tokoh utamanya yang saat rawat inap di rumah sakit, ia mendengar suara aneh seperti suara memarut lobak yang berasal dari kamar sebelahnya. Sampai ia keluar dari rumah sakit, rasa penasarannya mengendap di benak. Lalu, kali kedua di rawat di rumah sakit yang sama, namun di kamar yang beda, barulah jawabannya didapatkan setelah berbincang dengan perawat yang pada waktu itu merawat pasien di kamar sebelahnya.

Karena tema rumah sakit, cerpen ini membahas soal kematian yang silih berganti pada pasien. Boleh lah dikatakan secara terselubung cerpen ini mengingatkan kita akan pentingnya hidup sehat dan baik. Beberapa penyakit akut disinggung di sini dan kita harus bersyukur karena tidak mengidapnya.

*


Dan di cerpen Kursi Manusia (Edogawa Ranpo) menceritakan tentang penulis perempuan bernama Yoshiko yang menerima surat dan draft naskah. Dalam surat itu diceritakan tentang lelaki yang miskin dan jelek namun ahli membuat kursi. Ia menceritakan panjang lebar tentang kepiluan hidupnya karena memiliki fisik yang kurang menyenangkan, tentang hidup sehari-harinya sebagai tukang furnitur, dan tentang kesenangannya yang penuh ambisi hingga ia menciptakan kursi paling aneh, kursi yang bisa diisi manusia. Lelaki itu kemudian masuk ke dalam kursi aneh tadi dan mulai menjalani hidup sebagai kursi.

Banyak cerita selama ia jadi kursi dari menganalisa seseorang menurut bentuk badan dan aroma hingga kebimbangan antara menyudahi aksinya itu atau melanjutkan. Dia pun jatuh cinta pada beberapa orang yang sempat mendudukinya. Hingga akhirnya perasaan itu tertambat kepada Yoshiko, namun sulit bagi si lelaki untuk mengungkapkan perasaannya karena ia sadar awal mula mereka bersinggungan pun lebih mengerikan.

*

Membaca cerpen pasti melahirkan interpretasi yang berbeda-beda tiap orangnya dan begitu pun dengan hasil membaca buku ini. Saya merasa seru membaca cerpen-cerpen di sini, dengan keanehan dan kepiluan yang masih bisa diterima dengan nalar. Tidak terlalu mengejutkan ataupun membuat mual, tapi yang pasti tidak ada yang bikin perasaan berbunga-bunga, hehe.

Buku kumcer ini pas untuk jadi selingan di saat kita sedang membaca buku tebal. Itu juga yang saya lakukan, buku ini jadi jeda di tengah saya membaca buku lain. Dan hasilnya memang tidak mendistraksi bacaan utamanya.

Sekian ulasan saya untuk buku kumcer Sengkarut karya keempat penulis hebat; Natsume Soseki, Edogawa Ranpo, Kajii Motojiro, dan Ogawa Mimei. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku ya!



Resensi Novel Semalam Di Kereta Bima Sakti - Miyazawa Kenji

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]



Judul:
Semalam Di Kereta Bima Sakti

Penulis: Miyazawa Kenji

Penerjemah: Armania Bawon Kresnamurti

Ilustrasi sampul dan isi: Pola

Penerbit: Mai

Terbit: Desember 2022, cetakan pertama

Tebal: 114 hlm.

ISBN:


Setelah kemarin bisa membaca buku cerita Rumah Pohon Kesemek karya Tsuboi Sakae yang ceritanya sangat ringan, kini saya juga membaca buku tipis dari Penerbit Mai lagi; Semalam Di kereta Bima Sakti. Sampul novel ini tuh cantik banget. Karena membawa kata 'Bima Sakti', ilustrasi sampulnya pun berlatar ruang angkasa yang dipenuhi bintang-bintang membentuk rasi. Tapi apakah cerita di dalam buku ini secantik sampulnya?

Novel Semalam Di Kereta Bima Sakti ini menceritakan anak laki-laki bernama Giovanni yang disisihkan oleh teman-teman sekolahnya. Dia juga merasa jauh dengan teman dekatnya, Campanella. Dan pada suatu malam saat digelar Festival Bima Sakti, Giovanni mau mengambil susu untuk makan malam ibunya, justru bertemu dengan teman-teman sekolahnya dan tak bisa menghindar jadi bahan ejekan. Ia pun melarikan diri menaiki Bukit Hitam.

Sebuah kejadian aneh menimpanya. Ia yang diserang cahaya putih, merasa silau, dan saat membuka mata justru ia sudah duduk di bangku dalam kereta. Giovanni tidak sendiri, Campanella ikut juga. Perjalanan keduanya melintasi angkasa di tengah Bima Sakti dimulai.



Unsur fantasinya di novel ini sangat terasa. Memadukan perjalanan kereta dengan luar angkasa saja sudah jadi ide yang menakjubkan. Namun penggambaran peristiwa perjalanan ini buat saya masih sulit dibayangkan. Banyak sekali detail yang di luar nalar. Misalnya, air sungai yang sangat bening tapi bukan bentuknya air. Taman bunga yang bunga-bunganya memancarkan sinar warna-warni.  Deretan menara segitiga yang punya lampu. Jujur, saya tidak bisa membayangkan sebagus apa latar yang diciptakan penulis. Harapan saya, baiknya buku ini menyisipkan ilustrasi bergambar dengan warna-warni. Ini pasti akan membantu banget pembaca menyelami kedalaman cerita ajaib soal luar angkasanya.

Ada penekanan kalau Giovanni dan Campanella adalah teman dekat. Di awal cerita sudah dikondisikan kalau keduanya mulai menjauh. Ada cerita apa di balik kerenggangan mereka ini yang masih kurang saya dapatkan. Secara posisi keduanya jadi bersebrangan. Giovanni jadi anak yang pendiam dan korban perundungan, sedangkan Campanella ikut gerombolan perundung walaupun dia tidak ikut merundung secara langsung. Mungkin karena keringkasan ceritanya akibat naskah aslinya sendiri yang masih mentah, jadi konflik antara Giovanni dan Campanella tidak tereksplorasi dengan utuh.

Perjalanan di dalam kereta menuju Bima Sakti bisa dibilang simbol perjalanan menuju akhirat. Gio dan Campa sempat bertemu dengan seorang pemuda yang mendampingi anak laki-laki dan perempuan yang rambutnya basah. Dari cerita si pemuda tadi, mereka adalah korban kapal tenggelam. Bagian ini terasa memilukan sih. Pada perhentian di Salib Selatan ada dialog penegasan soal akhirat ini: "Tapi kami harus turun di sini," kata Kaoru dengan sedih. "Kalau mau ke surga, kami harus turun di sini." (hal. 93).

Untuk akhir ceritanya pun bagi saya sudah cukup baik. Setidaknya perjalanan yang dilakukan Giovanni dan Campanella menjadi isyarat alam semesta dan Tuhan, dan pembaca jadi tahu kenapa perjalanan ke Bima Sakti seabsurd itu. Walau pun pada penutupannya diakhiri dengan agak 'kentang' sebab membuyarkan kesedihan yang harusnya di momen itu terasa memilukan.

Sama seperti buku Rumah Pohon Kesemek, di novel ini pun ada beberapa ilustrasi menarik yang mewakili dari penggalan ceritanya. Andai saja ilustrasinya berwarna, pasti akan lebih menarik.







Kesimpulannya, buku ini menarik secara garis besar ceritanya, tapi jika harus menghanyutkan diri ke dalam perjalanan yang dilakukan kedua tokoh utamanya, saya pasti memilih nanti saja. Makna cerita yang ingin disampaikan penulis bisa saya pahami namun buku ini bukan bacaan yang mengesankan bagi saya. Sorry.

Sekian ulasan saya untuk novel Semalam Di Kereta Bima Sakti karya Miyazawa Kenji. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku ya!



Resensi Buku Rumah Pohon Kesemek - Tsuboi Sakae

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul:
Rumah Pohon Kesemek

Penulis: Tsuboi Sakae

Penerjemah: Asri Pratiwi Wulandari

Ilustrasi sampul dan isi: Puty Puar

Penerbit: Mai

Terbit: November 2022, cetakan pertama

Tebal: 64 hlm.

ISBN:


Keputusan paling tepat pas minat baca turun drastis ya harus pilih bacaan paling ringan dan tipis. Ini yang bikin saya mengubek tumpukan buku mencari bacaan ringan plus tipis demi menangkis gejala reading slump. Dan akhirnya saya memutuskan membaca buku dengan sampul kuning menyala dan ada gambar lucunya.

Buku cerita Rumah Pohon Kesemek ini menuturkan potret kehidupan Fumie dan Yoichi; kakak adik, selama tinggal di rumah yang di pekarangannya ada pohon kesemek. Pohon kesemek ini ditanam oleh Kakeknya kakek. Kemudian dirawat dengan apik oleh kakek hingga pohon kesemeknya berbuah dengan bagus, besar-besar, dan manis. 

Memelihara pohon dengan baik akan memberikan manfaat baik juga. Tapi kakek melakukan kekeliruan karena menyusun bebatuan sisa membangun sumur di sekitar pohon kesemek. Yang akhirnya membuat pohon kesemek tidak berbuah di tahun itu. Karena demi memperbaiki kesalahannya, kakek bekerja keras memindahkan bebatuan tadi hingga ia ambruk, sakit, dan pergi selama-lamanya. Di momen ini agak sedih membacanya sebab Fumie dan Yoichi harus mengalami kehilangan sosok yang disayanginya.



Namun selang waktu berlalu, Fumie dan Yuichi pun dilimpahkan kebahagian sebab mereka akhirnya punya adik, dan adik mereka kembar, keduanya laki-laki, yang diberi nama Hideo dan Shinnosuke. Yang bikin lucu, Paman Santaro suka usil bercanda mau meminta salah satu adik mereka sebab Paman Santaro dan Bibi Tsuneko belum dikaruniai anak. Kalau sudah dibencandi begitu, Yoichi akan menentang keras usul pamannya itu.


"Yoichi, kau tidak mau memberiku Shinnosuke? Kalau begitu Hideo juga boleh."

"Tidak mau. Dua duanya tidak boleh."


Membaca buku cerita ini akan membuat kita bernostalgia masa anak-anak dengan segala kepolosannya. Kesederhanaan dan keharmonisan begitu terasa hingga membawa kehangatan di dada saat membacanya. 

Menariknya lagi, buku ini disisipi banyak gambar lucu khas anak-anak. Gaya gambarnya mengingatkan saya pada buku pelajaran anak-anak pas tahun 90-an. Dan ini bikin saya makin betah membacanya sambil membayangkan gambarnya jadi berwarna.







Karena bukunya tipis, bisa dibaca dalam sekali duduk, dengan cerita yang ringan, buku ini bagus sebagai selingan setelah membaca deretan bacaan yang punya konflik sedang, bahkan berat. Lumayan bikin enteng otak dan bisa memelihara semangat membaca buku. Jadi saya merekomendasikan buku ini untuk dipilih jika kita sudah mulai mundur dalam membaca buku, entah dengan alasan apa pun kenapa bisa mengalami kemunduran tadi.

Sekian ulasan buku cerita Rumah Pohon Kesemek karya Tsuboi Sakae ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku ya!




Resensi Novel 1Q84 Jilid 3 - Haruki Murakami

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]




Judul: 1Q84 Jilid 3

Penulis: Haruki Murakami

Penerjemah: Ribeka Ota

Penyunting: Arif Bagus Prasetyo

Sampul: Andrey Pratama

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Terbit: Februari 2024, cetakan kedelapan

Tebal: vi + 556 hlm.

ISBN: 9786024240073


Yang membuat saya mau membaca novel ini karena kata orang-orang ceritanya bagus. Banyak yang memuji juga novel Haruki Murakami lainnya. Saya sendiri baru baca memoar beliau berjudul What I Talk About When I Talk About Running yang membahas kaitan antara kegemaran berlari dengan kepenulisan penulis. Buku itu mengupas siapa sosok Haruki dan cerita bagaimana dia bisa menjadi penulis. Buku itu sangat menarik kalau kita mau mengenal sosok Haruki.

Akhirnya saya bisa menyelesaikan jilid ketiga dari novel 1Q84 ini. Proses baca yang enggak mudah. Novelnya tebal-tebal dan bukan tulisan yang banyak dialognya. Tapi novel 1Q84 menawarkan cerita aneh penuh teka-teki dan bikin candu. Saya bangga bisa membacanya.

Tentang Apa Novelnya?

Di Jilid 3 ini membahas bagaimana penyelidik bayaran Komune Sakigake bernama Ushikawa menggali informasi untuk menemukan Aomame yang menghilang tanpa jejak. Nama sekolah dasar Aomame dan Tengo yang sama membuat Ushikawa yakin ada hubungan antara keduanya. Nyonya Ogata yang kaya raya memang dicurigai terlibat tapi Ushikawa tidak menemukan motif yang jelas dan akhirnya mengabaikan sementara. Ushikawa memutuskan mengamati Tengo karena ia yakin Tengo akan membawanya kepada Aomame.

Aomame yang terus menunggu kemunculan Tengo di papan luncur di taman dekat apartemennya justru menemukan Ushikawa yang melintas. Kata Tamaru, ada pria yang tampilannya mencolok mengamati sekitar vila Nyonya Ogata dan dia yakin kalau orang itu suruhan Komune Sakigake. Aomame mengejar Ushikawa yang mencurigakan dan ia justru menemukan kotak pos atas nama Kawana di sebuah apartemen. Antara yakin dan enggak, Kawana itu pasti Kawana Tengo.

Tengo yang berharap bisa menemukan Kepompong Udara lagi di kamar ayahnya harus rela kalau ia tidak akan menemukannya lagi. Tengo memutuskan pulang dan justru dia ditinggalkan Fuka-Eri dengan pesan kalau ada yang sedang mengamatinya. Setelah bertemu Pak Komatsu, Tengo mendapatkan fakta kalau masalah novel Kepompong Udara dan Komune Sakigake memiliki rahasia dan itu berbahaya. Dan tak lama setelah meninggalkan panti, kabar duka datang menghampiri.

Tamaru menghormati keputusan Aomame yang melenceng dari rencana awal pelarian; pergi jauh, operasi wajah, dan menggunakan identitas baru. Keanehan muncul saat Aomame menyampaikan dirinya hamil. Kehamilan tanpa melakukan seks. Tamaru pun harus membereskan Ushikawa yang penyelidikannya makin mendekati target.



Dunia 1Q84 Yang Mencengangkan

Kalau ada yang bilang novel ini agak susah dipahami, maka itu benar adanya. Banyak banget hal aneh yang diberikan penulis. Terutama soal dunia di tahun 1Q84 yang sebenarnya versi lain dari tahun 1984. 

Ciri paling mencolok tentu saja keberadaan ada dua bulan yang menggantung di langit. Bulan yang satu adalah bulan yang biasa kita lihat, satunya lagi bulan baru yang ukurannya lebih kecil dan warnanya agak kehijauan. Dan yang bisa melihat dua bulan di langit hanya beberapa orang saja; Tengo, Aomame, Fuka-Eri, dan Ushikawa. Saya enggak paham bagaimana Ushikawa bisa melihatnya padahal dia tidak mengalami momen supranatural seperti yang lainnya.

Sepanjang novel ini pun sering disebut istilah Orang Kecil. Mahluk yang pertama kali muncul dari bangkai kambing dengan perawakan mungil. Orang Kecil muncul pada malam tertentu saja dan mereka akan bekerja beberapa malam untuk membuat Kepompong Udara.

Kepompong Udara yang dibuat Orang Kecil akan berisi satu sosok terpilih. Ini yang kemudian memunculkan istilah Maza dan Dohta. Saya juga masih bingung maksud dari Maza dan Dohta ini, tapi salah satunya merupakan sebutan untuk sosok alter yang muncul dari Kepompong Udara.

Di Balik Misteri Ada Romansa Terselubung

Kasus yang paling menarik di novel ini adalah soal pembalasan untuk pelaku pelecehan seksual terhadap korban di bawah umur. Tipikal cerita yang bikin pembaca tegang dan bertanya-tanya apakah tokoh utamanya bisa berhasil melakukannya. Dan untungnya Aomame berhasil membunuh si Pemimpin. Saya kira setelah tugas itu selesai akan disusul oleh pembalasan orang-orang komune yang memburu Aomame untuk diganjar atas tindakannya. Kenyataannya, kasus segede itu menguap. 

Justru garis besar novel ini seperti cerita cinta-cintaan yang tokoh utamanya terpisah dan berusaha untuk bertemu namun harus menghadapi rintangan dulu. Dan bersinggungan dengan Komune Sakigake adalah penghalangnya. Ekspektasi saya pada akhir cerita malah meleset. Tidak ada adegan heroik sama sekali.

Misteri yang dibangun sejak awal buku pun tidak diselesaikan secara tuntas. Kita tidak akan tahu siapa pengganti si Pemimpin di komune. Keberadaan Fuka-Eri pun tidak diketahui. Dan pengejaran Aomame pun berhenti begitu saja ketika dia bisa lolos dari dunia 1Q84. Saya berharap bakal ada kelanjutannya lagi biar tahu nasib tokoh-tokohnya.


Baca juga: Resensi Novel 1Q84 Jilid 1 & Resensi Novel 1Q84 Jilid 2

Karakter Rumit Yang Manusiawi

Kelebihan dari novel ini tentu saja ada pada karakter-karakternya yang memiliki konflik rumit tapi terasa manusiawi sekali. Masa lalu setiap karakter digali lebih dalam sehingga kita bisa memahami kehidupan macam apa yang dilewati mereka. Di jilid 1 lebih banyak dibahas soal kehidupan Aomame, di jilid 2 berpusat pada kehidupan Tengo, dan di jilid 3 ini diulik kehidupan Ushikawa.

Tengo masih meragukan kalau ia anak dari ayahnya. Aomame melepaskan diri dari Jemaat Saksi dan melewati kemandirian yang tidak gampang. Ushikawa dicampakkan keluarga dan sekitarnya karena tampangnya yang tidak umum.

Kesimpulan

Tiga jilid yang punya cerita memikat dengan keunikan yang tidak biasa. Walau ini tipikal novel yang didominasi narasi, tapi alurnya mampu menghanyutkan pembaca pada konflik pelik tokoh-tokohnya. Setelah berhasil membaca semua jilid novel ini, saya jadi bersemangat akan membaca novel Haruki Murakami lainnya yaitu Membunuh Commendatore.

Nah sekian ulasan saya untuk novel 1Q84 Jilid 3 ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!


Bebukuan Agustus 2024

 


Halo, apa kabar?

Balik lagi nih di postingan Bebukuan, dan kali ini saya merekap hal-hal seputar bebukuan selama bulan Agustus 2024.

Gairah membaca saya belum juga membaik padahal sempat semangat-semangatnya baca buku, eh malah ada yang bikin mood turun lagi. Ada satu  buku Harry Potter #1 yang sudah kelar dibaca malah hilang di rumah. Kayaknya ada yang mainan buku saya terus lupa simpannya dimana. Sejak itu jadi kepikiran karena buku itu belum saya ulas, sedangkan saya perlu membuka-buka lagi bukunya untuk memastikan detail yang mau saya utarakan di ulasannya nanti.

Prolognya singkat saja ya, dan mari masuk ke informasi Bebukuan Agustus 2024:

Bacaan Agustus 2024

Dari Rencana Baca yang saya posting bulan lalu, ternyata hanya satu judul yang beneran dibaca. Tapi it's OK, setidaknya bulan kemarin saya bisa baca 3 buku. Sebenarnya 4 buku kalau yang Harry Potter mau dihitung, tapi kayaknya untuk buku itu saya akan baca ulang lagi kalau bukunya sudah tersedia.

1. Roma karya Robin Wijaya

2. Remedies karya Trisella

3. Digital Minimalism karya Cal Newport


Koleksi Agustus 2024





1. Feel Good Productivity karya Ali Abdaal

2. Digital Minimalism karya Cal Newport

3. Bersyukur Tanpa Libur karya Arswendo Atmowiloto

4. Hunger Games #2: Catching Fire karya Suzanne Collins

5. Hunger Games #3: Mockingjay karya Suzanne Collins

6. Perjalanan Mustahil Samiam Dari Lisboa #2 karya Zaky Yamani


Rencana Baca September 2024


1. IQ84 Jilid 3 karya Haruki Murakami

2. Semua Ikan Di Langit karya Ziggy Z.

3. Dona Dona karya Toshikazu Kawaguchi


***

Semoga daftar buku di Rencana Baca bisa dibaca semuanya ya. Biar makin berkurang buku TBR-nya.

Sekian rangkuman Bebukuan Agustus 2024 dan ke depannya harus bersemangat lagi untuk menyicil membaca buku-buku timbunan. BISA!!!

Resensi Buku Digital Minimalism - Cal Newport

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul:
Digital Minimalism

Penulis: Cal Newport

Penerjemah: Agnes Cynthia

Sampul: Suprianto

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Mei 2024

Tebal: xxiv + 360 hlm

ISBN: 9786020644691


Setelah membaca buku ini saya memutuskan untuk mencopot beberapa aplikasi seperti shopee, tokopedia, lazada, notion, ipusnas, dan facebook. Alasannya, saya ingin benar-benar menikmati keseharian saya. Karena saya akui, aplikasi-aplikasi tadi masuk ke golongan: yang membuang-buang waktu (ecommerce dengan game-nya) atau yang jarang saya gunakan.

Buku ini terbilang tebal tapi penulis merangkum pembahasannya hanya di dua bab besar; Fondasi dan Praktik. Kemudian mengerucut jadi tujuh sub bab yang isi pembahasannya bisa menohok kita semua.

Karena judulnya mengandung kata minimalis, seperti buku serupa lainnya, kita akan diajak untuk membuang segala yang tidak perlu. Tetapi di sini kita akan bicara soal teknologi, lebih spesifiknya ke ponsel.

Latar belakangnya adalah kita semua sudah ketergantungan dengan ponsel dan aplikasi-aplikasi yang berjubel. Banyak dari kita yang secara tidak sadar menggeser layar ponsel menonton hiburan hingga berjam-jam. Kita sedang dijajah oleh perusahaan aplikasi untuk berlama-lama di depan ponsel karena waktu kita adalah uang bagi mereka.

Dan penulis mengajak kita untuk melek pada penggunaannya. Ingat, penulis tidak meminta kita tidak menggunakan teknologi, tetapi hanya mengingatkan bagaimana kita bertanggung jawab memakai teknologi.

Yang paling utama dari saran penulis adalah dengan membersihkan diri dari keterhubungan kita dengan teknologi. Mengurangi atau melepaskan dulu selama beberapa hari, lalu lihat hasilnya, apakah kita akan kembali ke kebiasaan lama (main ponsel melulu) atau justru kita bisa mengurangi dan mulai memilih mana saja aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan.




Empat sub bab di bagian bab Praktik membuat saya lebih sadar kalau saya memang salah satu dari banyak orang yang main ponsel melulu. Ajakan untuk menyendiri membuat saya pengen lebih banyak menghabiskan waktu tanpa diganggu oleh siapa-siapa. Dan selama ini saya melakukannya dengan motoran, disamping saya memikirkan, merencanakan, mengaji diri, soal kehidupan yang sedang saya jalani. Di buku ini dikatakan tiga manfaat kesendirian adalah: ide-ide baru, pemahaman terhadap diri sendiri, dan kedekatan dengan orang lain.

Jangan menekan "like" pada postingan orang lain hanya untuk membuktikan kalau kita peduli. Penulis menyarankan untuk membuktikan kepedulian kita dengan berjumpa atau menelepon. Di kebiasaan ini saya bukan termasuk yang suka menekan like pada sosial media.

Kita harus memiliki waktu santai yang produktif. Ingat, rebahan sepanjang hari dengan ponsel di tangan bukan bentuk menikmati waktu santai. Banyak kegiatan santai yang lebih berkualitas daripada sekadar tiduran sambil memantau media sosial.

Isi di buku ini bukan hanya menata kita dalam menggunakan teknologi seperti ponsel tapi justru menyasar bagaimana kita bisa menikmati kehidupan yang membahagiakan.

Saya sangat merekomendasikan buku ini dibaca kita semua sebelum kita menyesal karena merasa kekurangan waktu setiap harinya. Padahal kita sendiri yang belum keluar dari jeratan ponsel yang selalu kita pantau setiap saat. Dan saya bakal membaca ulang buku ini karena banyak poin yang menarik dan patut diingat-ingat lagi.

Gara-gara banyak disebutkan di dalam buku ini, saya juga jadi pengen segera baca buku Walden karya Hendry David Thoreau yang kebetulan bukunya sudah ada di timbunan.


  • Teknologi-teknologi ini semakin lama semakin mendikte cara kita berprilaku serta yang kita rasakan, dan entah bagaimana memaksa kita menggunakannya lebih sering dari seharusnya, acap kali dengan mengorbankan kegiatan lain yang lebih bernilai bagi kita (hal. 9)
  • Biaya sesuatu adalah jumlah waktu dalam hidup yang kita bersedia tukarkan untuk mendapatkannya, segera atau dalam jangka panjang (hal. 49)
  • Kita mudah tergoda oleh keuntungan tak seberapa yang ditawarkan beragam program aplikasi atau layanan terbaru, tetapi kemudian lupa dengan harga yang harus kita bayarkan atas sumber daya terpenting yang kita miliki: menit-menit dalam hidup kita (hal. 53)
  • Apakah teknologi ini dapat langsung menopang sesuatu yang sangat benilai bagiku? Inilah satu-satunya syarat untuk mengizinkan perangkat tersebut masuk ke hidup anda (hal. 94)


Nah, sekian ulasan dan kesan saya untuk buku ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Resensi Novel Remedies - Trissella

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul:
Remedies

Penulis: Trissella

Editor: Dwi Ratih Ramadhany

Sampul: Orkha Creatives

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Oktober 2023

Tebal: 264 hlm.

ISBN: 9786020673509


Review

Gerry memendam rasa bersalah atas kehancuran keluarganya. Bunda lumpuh akibat kecelakaan saat dibonceng olehnya. Ayahnya menceraikan Bunda dan pergi karena kondisi Bunda yang tidak memungkinkan menjalankan perannya sebagai istri. Di susul Bunda memutuskan mengakhiri hidupnya. Beban ini terlalu berat. Gerry meninggalkan dunia Polo Air. Ia mulai merokok. Dan sejak kepergian Bunda, ia dihantui mimpi buruk setiap memejamkan mata.

Beruntung ia bertemu dengan Retha, salah satu teman sekolahnya dulu, yang kini satu sekolah dengannya. Pembawaan Retha yang cerewet dan berisik membuat Gerry antipati, meski sesekali ia bersyukur berada di dekatnya karena suara bawelnya bisa meredam suara gemuruh di otaknya. Peran Niko dan Farhan, teman sekelasnya, pun sangat membantu Gerry melewati masa-masa beratnya itu.

Setelah berbulan-bulan tidak ada kabar, bahkan ketika Bunda dimakamkan juga tidak hadir, Ayah Gerry muncul di hidupnya lagi. Rasa kangen dan marah bercampur. Mimpi buruk Gerry makin-makin bertambah. 

Novel ini membawa tema remaja dengan konflik anak yang jadi korban atas keputusan keliru dari orang dewasa. Perceraian itu umum di masyarakat, tapi sangat lucu sekali ketika Ayah Gerry tidak muncul saat Bunda meninggal karena waktu itu berbarengan dengan calon istrinya yang habis operasi usus buntu. Jelas ini keputusan paling salah bagi seorang ayah untuk anaknya yang sedang butuh-butuhnya didampingi.

Saya juga belum jelas kenapa Bunda memilih mengakhiri hidupnya padahal ia sadar kalau mereka hanya hidup berdua saja; Bunda dan Gerry. Pikiran pendek ini yang saya sebut keputusan paling salah juga. Karena sosok Bunda pernah mengucapkan sesadar-sadarnya kalau mereka akan melanjutkan hidup berdua sampai tua nanti. 

Gerry yang masih belum berdamai dengan masa lalunya membutuhkan dukungan dari orang sekitar. Ia beruntung memiliki Tante Nisa dan Om Irfan yang begitu peduli sampai-sampai mereka rela bergantian pulang kerja cepat agar Gerry tidak sendirian di rumah. Beruntung juga Gerry memiliki teman sekelas seperti Niko dan Farhan yang mau mengerti dengan misteri hidupnya dan tidak kepo. 

Dua orang dengan masalah serupa pasti akan terkoneksi secara perasaan. Ini yang membuat Gerry perlahan-lahan bisa akur dengan Retha yang menurutnya sangat menggangu. Yang membedakan keduanya, Retha sudah lebih bisa mengendalikan diri atas luka hatinya akibat perceraian orang tua, sedangkan Gerry masih bergulat dengan perasaan menyalahkan diri sendiri untuk keputusan perceraian orang tuanya.  


Plot | POV | Gaya Bercerita | Penokohan

Secara keseluruhan novel ini menggunakan alur maju dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Sepanjang ceritanya kita akan diajak mengikuti perkembangan Gerry yang dibantu Retha untuk berdamai dengan masa lalu. Dan ternyata prosesnya tidak mudah. Emosi kita bakal diaduk-aduk. Saya pun sampai hampir menangis di beberapa bagian, terutama kalau Gerry sedang terpuruk dan menyalahkan diri sendiri untuk semua kehilangan yang dialaminya.

Kak Trissella merajut ceritanya dengan diksi yang tidak bertele-tele. Ketika momen dramatis bisa dibuat dengan apik. Yang jadi ganjalan saya justru di lelucon para tokohnya yang susah dinikmati. Ini selera sih, saya lebih suka kekonyolan itu munculnya dari adegan para tokoh, bukan dari ucapan candaan.

Untuk para tokoh yang dimunculkan sudah sangat hidup dan membawa peran yang saling terkait. Gerry sebagai tokoh utama digambarkan beraura gelap, tertutup, dan ketus. Saya bersimpati dan mengerti kenapa Gerry bisa sebegitu memilukannya. Dan perubahan yang dialami Gerry pun cukup memuaskan karena penulis membangun hal itu dengan sangat sabar, tidak ujug-ujug berubah akibat satu momen. Retha sebagai tokoh utama kedua pun punya peran penting sebagai pembanding atas masalah yang dihadapi tokoh utamanya. Tipikal remaja yang cerewet, kepo, dan penuh empati. Perbedaan warna karakter ini yang membuat hubungan keduanya menarik diikuti. Dan bisa dibilang tipis sekali sisi romansa yang mau dibangun penulis, tapi saya sendiri masih samar melihatnya. 

Tokoh yang patut diacungi jempol tentu saja untuk Tante Nisa dan Om Irfan. Mereka pasangan yang tulus banget memperhatikan keponakan. Berusaha memahami Gerry yang sedang di fase susah diprediksi, secara emosi dan mentalnya belum stabil dan solid. Apalagi cara mereka berbicara dengan Gerry yang tidak menghakimi, tidak menyudutkan, tidak menambah beban pikiran, dan justru kelihatan sekali keduanya begitu bijak menghadapi remaja. Mereka sangat hati-hati sekali bersikap di depan Gerry.

Tambah meriah saja ceritanya dengan kemunculan teman-teman Gerry; Niko dan Farhan. Duo yang memahami posisi sebagai teman baik, tidak mau mengorek masalah Gerry, justru memahami situasi. Mereka lebih memilih menunggu Gerry yang mengutarakan dibandingkan harus kepo. Selain mereka, ada juga Reno (kakaknya Retha) dan Kendra (teman Retha).



Petik-Petik

Membaca novel ini membuat saya makin yakin kalau mental anak bisa dilihat dari kondisi di rumahnya. Jika keluarganya harmonis, akan lebih besar kemungkinannya membentuk mental dan sikap anak lebih baik. Tetapi jika orang tuanya tidak harmonis, anak-anaknya pasti akan terpengaruh, mental dan sikapnya bisa buruk.

Satu lagi, seberat apa pun masalah yang menimpa kita, semuanya harus dihadapi. Kalau kita merasa tidak sanggup berjuang sendirian, minta tolong orang sekitar kita. Saya yakin dan sudah membuktikan sendiri kalau di sekitar kita itu ada banyak orang-orang baik yang bakal membantu kita asal kita mau bercerita. 


Penutup

Saya ingin berterima kasih kepada Kak Trissella yang sudah menghadiahi saya novel bagus ini. Dan saya mohon maaf ternyata proses bacanya tidak cukup mulus sehingga baru saya ulas sekarang.

Oya, ini pengalaman kedua saya membaca buku Kak Trissella. Sebelumnya saya sudah membaca karya lainnya berjudul Heart Reset.

Saya merekomendasikan novel ini untuk kalian yang pengen nangis dan membayangkan gimana terlukanya ketika kita kehilangan orang tua tapi kita belum siap. Ada bagian-bagian ketika Gerry meratapi nasibnya dan itu makin bikin saya mengingat kalau saya harus lebih berusaha berbakti kepada orang tua mumpung mereka masih sehat.

Nah, sekian ulasan novel kali ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Resensi Novel Roma - Robin Wijaya

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]



Judul:
Roma

Penulis: Robin Wijaya

Editor: Ibnu Rizal

Sampul: Jeffri Fernando

Penerbit: Gagas Media

Terbit: 2013, cetakan pertama

Tebal: x + 374 hlm.

ISBN: 9797806149


Review

Kalau kita sudah punya pasangan (pacar), boleh nggak kita suka sama yang lain?

Pertanyaan ini dijawab oleh penulis dengan menghadirkan dua tokoh utama bernama Leo dan Felice, yang keduanya saling suka tapi sayangnya mereka sudah punya pasangan masing-masing. Pasti membingungkan. Namun lebih bikin saya kesal karena Leo dan Felice sempat-sempatnya membuat momen berduaan selama di Bali, yang kemudian dilanjutkan di kota Roma.

Jalan berdua, ngobrol soal sejarah bangunan ikonik, saling bertukar cerita, tidak membuat yang mereka lakukan jadi super romantis meskipun latarnya sekelas kota Roma yang punya vibes romantis. Saya menganggapnya mereka sedang selingkuh. 

Keduanya sudah dewasa, harusnya paham bagaimana bertanggung jawab dengan perasaan dan komitmen pasangan. Tapi yang dilakukan Leo dan Felice justru melanggar itu. Bahkan sampai ciuman. Ambyar sudah sisi romantis di novel ini di mata saya.

Tapi konflik novel ini masih ada lagi yaitu soal anak dan ibu yang tidak akur. Felice tidak akur dengan mamanya gara-gara mamanya punya pacar baru yang diduga masih berstatus suami dari seseorang. Lha, kalau Felice menolak bentuk perselingkuhan, kenapa dia adem ayem dan menikmati momen berduaan dengan pria lain yang jelas-jelas kelakuannya ini akan menyinggung pacarnya juga.

Di luar dari konflik yang bikin saya kesal, saya cukup menikmati gaya bercerita Robin Wijaya yang menurut saya pas membawakan sisi indah kota Roma. Walau konsep ceritanya umum dipakai untuk series sebuah kota, melakukan jalan-jalan ke beberapa wisata terkenal di kota tersebut, namun bagi saya kota Roma dijelajahi dengan baik dan membawa pengetahuan baru. 

Novel ini juga kuat dalam pembahasan karya seni terutama soal lukisan. Ada yang menarik ketika penulis membandingkan respon masyarakat Roma dan Indonesia untuk gelaran sebuah pameran. Bagi masyarakat di Roma, pergi ke pameran itu menyenangkan, sedangkan untuk orang Indonesia, pergi ke pameran itu membosankan. Fakta sih, tapi tidak dijelaskan apa yang membuat perbedaan tadi. Apakah SDM kita yang belum terikat dengan seni? Atau apakah karena kegiatan pameran belum digaungkan dengan lantang untuk menyasar banyak orang?


Plot | POV | Gaya Bercerita | Penokohan

Novel ini menggunakan alur maju dengan menggunakan dua setting di dua negara; Indonesia dan Italia. Saya bisa membedakan suasana tempat ketika kedua tokoh berada di Bali dan di Roma, yang artinya detail untuk lokasi cerita sudah mumpuni bagi pembaca untuk membayangkan kondisinya. 

Kelemahan dari sisi plot di novel ini adalah tidak cukup informasi seruncing apa perseteruan Felice dengan mamanya saat pemicu konflik muncul karena memang tidak ada kilas balik momen itu. Harusnya ada bagian kilas balik dengan emosi paling puncak saat Felice menolak mentah-mentah ide mamanya yang memacari lelaki itu. Dengan begitu, pembaca akan ikut bersimpati dengan jalan pikiran Felice.

Karena menggunakan sudut pandang orang ketiga, pembaca jadi tahu lebih dalam soal isi hati dan pikiran kedua tokoh utamanya. Ini jadi senjata makan tuan, karena pembaca jadi tahu apa yang dilakukan kedua tokoh utama saat merasakan ketertarikan, jalan-jalan berdua, dan tidak menyesal atau merasa salah dengan yang mereka lakukan. 

Seorang Robin Wijaya selalu berhasil menyampaikan kisah racikan dengan menghanyutkan. Diksi yang digunakan tertata dan mewakili. Cukup informatif dan detail juga, mengingat konsep cerita jalan-jalan di sebuah kota butuh mengenalkan banyak sudut. 

Karakter yang diciptakan penulis sangat hidup. Felice Patricia: seorang staf KBRI yang ceria dan menyenangkan. Kemurungannya hanya karena alasan sang mama. Di luar itu dia sangat baik sebagai pekerja, kawan, dan pacar. Leonardo Halim: seniman lukis yang awalnya tampak cool, tapi bisa becanda juga kalau sudah dekat. Tidak punya masalah besar kecuali saat ia harus memilih antara Felice atau Marla. Buat saya dia agak kurang tegas bersikap sehingga mengulur-ulur kejujuran kalau dia sudah punya pasangan. Jangan-jangan Leo tipikal yang lumayanan sama perempuan, tapi entahlah. 

Ada beberapa karakter pendukung di novel ini: Francesco Mancini (seniman yang ajak Leo pameran di Roma), Marla (kekasih Leo), Tenny (teman apartement Felice), Anna (kakaknya Felice), mamanya Felice, dan ada beberapa karakter pendukung lain seperti teman-teman seniman Leo.


Petik-Petik

Dari kisah romansanya saya bisa menarik pelajaran untuk jangan bermain api di belakang pasangan. Bentuk tanggung jawab komitmen itu bukan sekadar menjaga pasangan saja, tapi harus bisa mengembalikan pasangan yang sudah tidak bisa dicintai lagi.

Sedangkan dari kisah ketidakakuran anak dan ibu, saya belajar untuk memaafkan seluas mungkin kesalahan orang tua karena mereka juga manusia biasa, pasti bisa melakukan kesalahan, dan kita harus sabar juga menghadapinya. Bagaimana pun orang tua itu sudah memiliki watak yang sudah terbentuk dan mengeras, sebelum kelihatan salahnya dimana, mereka kerap merasa benar terus. Jadi, berlatihlah dari sekarang kesabaran menghadapi watak mereka.


Cuplikan

  • Mereka yang mengerjakan sesuatu dari hati, karyanya akan memiliki jiwa (hal. 14)
  • Satu keburukan tidak pernah pantas untuk mengalahkan sepuluh kebaikan (hal. 127)
  • Manusia cenderung gemar membicarakan apa-apa yang mereka sukai, bukan? (hal. 196)


Penutup

Sebagai salah satu bagian dari series Setiap Tempat Punya Cerita (STPC), novel ini masih menarik dibaca. Bakal diajak ke beberapa lokasi ikonik yang ada di kota Roma. Cuman ya itu, buat saya ceritanya bikin misuh-misuh. 

Nah, sekian ulasan novel Roma karya Robin Wijaya. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!