Resensi Novel Janji Untuk Ayah oleh Nurunala

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]



Judul: Janji Untuk Ayah

Penulis: Nurunala

Editor: Trian Lesmana

Desain sampul: Sukutangan

Penerbit: Grasindo

Terbit: Agustus 2024

Tebal: iv + 188 hlm.

ISBN: 9786020531090

Tag: keluarga, pendakian



SINOPSIS

Novel Janji Untuk Ayah mengisahkan pemuda bernama Gilang Satria Bahari yang pada kepulangan rutin mingguannya dari Kota Bogor ke Leuwibatu, ia mendapatkan kabar kalau ibunya meninggal karena covid. Tidak ada tanda, tidak ada belasungkawa, tidak bisa menyolati untuk terakhir kali, jenazah ibunya dibawa mobil ambulan untuk dimakankan.

Kehilangan yang begitu mendadak itu membuat hidupnya limbung dan hampa. Tidak ada lagi alasan kenapa dia harus hidup sedangkan satu-satunya orang yang dia punya sudah tidak ada. Gilang dan ibunya pendatang di Leuwibatu dan selama ini ibunya rapat menutup soal asal muasal mereka.

Sebuah alamat di Banyuwangi menjadi petunjuk yang ditinggalkan ibunya sebelum tiada. Gilang yakin di sana ada jawaban soal siapa ayahnya dan cerita bagaimana ibunya bisa memutuskan tinggal di Bogor, berjuang membesarkan dirinya. Gilang memutuskan melakukan perjalanan dari Bogor ke Banyuwangi dengan motor Supranya. Dia tidak tahu apa yang akan ditemuinya di alamat itu tapi Gilang perlu nama kakeknya untuk disematkan di nisan ibunya.



ULASAN

Novel ini bergenre drama keluarga membahas hubungan anak dan orang tua. Dimana anak laki-laki kehilangan ibunya dan kemudian mencari ayahnya. Penulis berhasil merajut ceritanya penuh emosional. Pada beberapa bagian berhasil membuat mata saya berkaca-kaca. 

Konflik utama novel ini mengenai pencarian jati diri seorang anak yang tidak tahu asal muasalnya. Sepanjang hidup dia hanya kenal sosok ibu dan tidak tahu sedikit pun tentang ayah dan keluarga besarnya. Dan pencarian alamat di Banyuwangi menjadi momen berharga Gilang belajar soal kehidupan dari rentetan kejadian yang ia alami sendiri atau pun dari cerita-cerita orang yang ia temui.

Di sini juga disinggung soal perlawanan warga Wanirejo terhadap pemimpin daerah yang akan melakukan penggusuran warga demi pertambangan. Kasus ini banyak ditemui dimana orang-orang berkuasa memberi ijin untuk proyek tambang tanpa memikirkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Warga yang diiming-imingi uang ganti rugi akan jadi korban. Uang seberapa banyaknya pun pasti akan habis. Dan ketika itu terjadi, tanah yang harusnya jadi tempat bergantung sudah raib.

Penulis membeberkan perjalanan Gilang dari Bogor ke Banyuwangi dengan penuh liku-liku. Tapi yang paling berkesan untuk saya ada dua momen. Pertama, saat dia kehilangan motor beserta perbekalan. Rasanya saya ikut terbawa nelangsa. Tidak tahu lagi harus melakukan apa. Ingin membatalkan ke Banyuwangi tapi sayang sudah sejauh itu, mau balik ke Bogor pun rasanya tidak pantas. Kedua, saat Gilang melakukan pendakian ke Puncak Merbabu. Saya selalu terkesan dengan cerita-cerita pendakian. Mungkin karena itu salah satu keinginan saya yang belum terwujud hingga saat ini.

Novel ini kaya dengan pembelajaran hidup. Banyak banget nasihat-nasihat yang dituturkan penulis tanpa menggurui. Mungkin karena dibalut dalam pengalaman para tokoh yang ada di sini jadinya saya begitu legowo memahami maknanya. Nilai agama islam juga begitu terasa di sini namun penulis membawakanya dengan apik membaur pada alur cerita.

Ending cerita dieksekusi dengan bijak walaupun untuk saya pribadi itu pilihan yang berat. Tujuan dia menemukan nama kakeknya yang akan ditulis di batu nisan makam ibunya sudah jadi ujung yang cukup. Dia memilih tidak melakukan konfrontasi dengan ayahnya. Dia menerima semua jalan hidup yang disusun Tuhan. 

Perubahan sosok Gilang yang di awal perjalanan menggebu, bingung, tidak tahu bakal bagaimana jika ia bertemu ayahnya, akhirnya berubah seiring perjalanan panjang yang dia lalui. Dia belajar banyak hal dan memetik kebijaksanaan. Saya kira ini pelajaran buat siapa pun, pengalaman hidup selalu bisa mematangkan karakter seseroang.

Novel ini jadi novel ketiga yang saya baca dari penulis dan saya selalu suka dengan karyanya karena ditulis dengan diksi yang tidak bertele-tele, porsinya pas ketika harus menggali kedalaman emosi, dan sokongan drama keluarga menjadikan rasa kisahnya menghangatkan hati dan penuh keharuan.

Kekurangan novel ini hanya satu, kovernya tidak menarik. Poin ini saya ungkapkan juga di ulasan novel Seribu Wajah Ayah. Terlalu sederhana dan suram. Rasanya isi cerita yang begitu menyentuh belum terwakilkan dengan kovernya yang berwarna hijau dan menampilkan sosok Gilang yang menggendong ransel naik gunung. Mungkin jika latarnya diganti dengan pemandangan di Puncak Merbabu, novel ini bakal lebih dilirik pembaca.

Dari novel ini saya belajar soal penerimaan terhadap takdir yang sudah ditetapkan Allah SWT. Banyak hal dari hidup yang kita pertanyakan terutama bagian yang tidak menyenangkan. Kenapa saya harus lahir? Kenapa saya harus memiliki orang tua yang sekarang? Kenapa orang tua miskin? Kenapa saya harus lelah-lelah memperjuangkan hidup sedangkan yang lain bisa kelihatan senang-senang saja? Dan novel ini memberi contoh bagaimana cara menerima semua keluhan tadi dan gugatan kita atas hidup yang sedang kita jalani.

Secara keseluruhan, saya begitu menikmati kisah perjalanan Gilang yang penuh drama dan pelajaran hidup dalam novel ini. Dan bagi siapa pun yang ingin merenungkan kembali makna keluarga terutama tentang ayah dan ibu, novel ini bisa jadi rekomendasi untuk dibaca.

Nah, sekian ulasan saya untuk novel Janji Untuk Ayah ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Catatan:

  • Kita merasa takut bukan karena tidak bisa. Kita merasa takut karena tidak biasa (hal. 50)
  • Kalau tak bisa buat orang bahagia, paling tidak jangan sakiti hatinya (hal. 61)
  • Hidup yang damai, dimulai dengan menerima hal-hal yang enggak bisa kita ubah (hal. 77)
  • Kita punya tujuan besar, tapi kita breakdown tujuan itu jadi langkah-langkah yang lebih kecil. Langkah-langkah yang mudah dicapai (hal. 80)
  • Sesuatu bernilai tinggi bukan hanya karena bentuknya. Tetapi juga perjuangan untuk mendapatkannya (hal. 86)
  • Dalam hidup ini, seenggaknya kita harus punya tiga hal ini: kebebasan untuk memilih, keberanian untuk menggeleng, dan nyali untuk melawan (hal. 90)
  • Kita kita memang harus berjalan sendiri, tanpa punya banyak pilihan. Tapi, percayalah, tak pernah ada manusia yang benar-benar sendiri (hal. 96)
  • Hidup itu sebenarnya sederhana, yang hebat-hebat cuma tafsirannya (hal. 117)
  • Setahu saya, rasa takut tidak akan membuat kematian berhenti datang. Rasa takut justru membuatmu berhenti hidup (hal. 124)
  • Untung rugi dalam hidup, menurutku, adalah tentang seberapa optimal kita menggunakan waktu yang Tuhan kasih (hal. 130)
  • Momen ketika kita kehilangan segalanya, kadang adalah momen untuk menemukan diri sendiri (hal. 148)

2 komentar:

  1. Kalau baca resensinya sepertinya novel ini enak dibaca dan ceritanya dekat dengan kenyataan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Kang, ceritanya relate karena bahas hubungan anak dan orang tua. Pasti gambang terhubung antara cerita dan pembacanya.

      Hapus