Judul: Cewek Paling Badung Di Sekolah
Penulis: Enid Blyton
Penerjemah: Djokolelono
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juni 2017, cetakan kesepuluh
Tebal: 264 hlm.
ISBN: 9789792280302
Tag: novel, remaja, teenlit, asrama, sekolah
SINOPSIS
Elizabeth Allen, anak perempuan sebelas tahun yang dikirim ke sekolah asrama, Sekolah Whyteleafe, karena orang tuanya akan bepergian selama setahun dan mereka tidak percaya untuk menitipkan Elizabeth kepada pengasuhnya, Nona Scott. Elizabeth adalah anak badung, bahkan pengasuhnya sudah berganti-ganti karena tidak tahan menghadapi ulahnya.
Karena tidak suka pergi ke sekolah, Elizabeth berjanji akan jadi anak nakal, badung, dan bandel di sekolah agar segera dikeluarkan dan dijemput ibunya pulang. Elizabeth berat meninggalkan rumah, kuda, dan Timmy, anjingnya. Dan yang membuatnya lebih berat, ia merasa tidak punya teman. Selama ini kenakalannya membuat Elizabeth tidak disukai teman-temannya. Kalau di asrama, mau tidak mau ia harus berbaur, itu yang membuat Elizabeth tidak ingin pergi ke sekolah.
Benar saja, awal-awal Elizabeth di sekolah tingkahnya sangat menyebalkan. Ia memasang wajah cemberut, tidak tersenyum, kalau bicara ketus, punya makanan tidak mau berbagi, dan suka menentang peraturan sekolah dan asrama. Kepribadiannya ini yang membuatnya tidak berteman dengan siapa pun. Bahkan saat belajar pun, ia sering membuat gurunya marah dan menghukumnya keluar dari kelas.
Sikap buruk Elizabeth bertujuan agar dia segera dikeluarkan dari sekolah. Tetapi teman-teman dan gurunya justru tidak terprovokasi. Saat Rita menjelaskan kalau ada teman sekamarnya yang lebih menderita dari dia, yaitu Joan, Elizabeth terenyuh ingin membantunya.
Hubungan dingin Elizabeth dan Joan di awal-awal berupah mencair. Joan bisa melihat sisi lain dari teman sekamarnya itu. Elizabeth tidak seburuk yang selama ini ditampilkan. Keduanya semakin dekat layaknya sahabat. Suka duka dilalui bersama-sama. Ujian hubungan mereka muncul saat Elizabeth ingin membuat Joan bahagia tapi dengan cara yang salah.
Lambat laun Elizabeth menemukan banyak hal menarik di Sekolah Whyteleafe. Teman-teman yang baik, guru musik yang memujinya, sahabat yang menemaninya, kegiatan berkuda, membantu berkebun, dan masih banyak lagi.
Beberapa kejadian membuat Elizabeth berubah jadi anak perempuan baik-baik. Perlakuan teman-teman dan guru kepadanya lebih menyenangkan. Namun pikirannya tambah bingung karena dia sudah sesumbar akan meninggalkan sekolah ini pada pertengahan semester karena waktu itu sekolah ini tidak menyenangkan, sementara sekarang dia sangat suka dengan sekolah ini.
Perpisahan itu tetap harus ada atau Elizabeth mau mengakui kalau dulu ia salah menilai sekolahnya?
ULASAN
Sengaja saya pilih bacaan ringan di awal tahun biar enggak tersendat-sendat menyelesaikannya. Rencananya saya mau baca series The Lord of The Rings di perpustakaan digital, tapi enggak jadi karena di Ipusnas ebooknya enggak bisa diunduh sebab eror, di Ijakarta dan Ruang Buku Kominfo tidak tersedia, dan di Eperpusdikbud masih antrian panjang. Hasilnya saya coba cari bacaan lain dan ketemu buku ini.
Ternyata buku ini berseri: The Naughties Girl Series. Di Goodread tampak ada 10 buku dan di Eperpusdikbud hanya ada 4 judul. Rencananya saya mau membaca semuanya.
Konflik di novel ini pasti membuat kita bernostalgia saat umur kita belasan tahun. Remaja yang keras kepala dan haus perhatian. Susah untuk mendengarkan wejangan dari orang dewasa karena saat itu pikiran kita masih pendek. Tapi momen saat itu bisa dibilang gerbang kita mencari jati diri.
Tokoh Elizabeth keukeuh tidak suka Sekolah Whyteleafe padahal dia belum mencoba untuk berbaur dengan ritmenya. Di otak dia pokoknya harus keluar dari situ dan hanya ada satu jalan yaitu menjadi murid nakal agar sekolah mengeluarkannya.
Dasarnya Elizabeth ini anak baik dan manis namun ia memilih menampilkan sikap yang bukan dirinya, hasilnya ia tidak bahagia. Beberapa perseteruan dengan rekan-rekannya tidak terhindarkan tetapi Elizabeth harus menghadapi dan menyelesaikannya. Hikmahnya adalah jadilah diri sendiri dalam versi terbaik. Kalau jadi diri sendiri tapi bersikap buruk, itu tetap saja pandangan yang salah.
"Memang, minta maaf sesuatu yang paling sulit di dunia. Tetapi hal kecil ini bisa membuat suatu perubahan besar. Cobalah..." (hal. 167)
Ada juga konflik sahabat Elizabeth bernama Joan yang menyoroti soal hubungan orang tua dan anak yang punya komunikasi tidak terbuka sehingga anak dan orang tua mempunyai pikiran masing-masing. Joan melihat orang tuanya tidak sayang kepadanya sehingga beberapa momen penting terlewat begitu saja. Sedangkan orang tua Joan masih berkutat dengan kesedihan di masa lalu dan melupakan anak yang lain karena si anak tidak komplen apa pun. Orang tua Joan menganggap Joan baik-baik saja padahal tidak begitu kenyataannya.
Saya suka penyelesaian konflik yang ada karena membuat karakter tokoh-tokohnya bertumbuh lebih baik. Perubahan yang dialami Elizabeth dan Joan begitu mengharukan. Banyak pelajaran karakter yang baik di novel ini yang dibutuhkan oleh remaja-remaja.
Selain Joan, banyak teman Elizabeth yang menarik dan seru. Nora adalah kepala kamar yang ditinggali Elizabeth. John Terry adalah kepala kebun yang diangkat karena kesukaanya berkebun walaupun ia masih siswa. Richard adalah kakak tingkat, teman duet Elizabeth di kelas musik Pak Lewis. Herry adalah teman yang suka memelihara kelinci dan pernah menghadiahi anak kelinci untuk Elizabeth dan Joan.
Ada juga guru-guru yang jadi pembimbing para siswa. Bu Belle dan Bu Best adalah pemimpin sekolah. Bu Ranger adalah wali kelas Elizabeth. Pak Lewis adalah guru musik.
Berkat novel ini saya bisa ikut merasakan keseruan sekolah berasrama. Kelihatannya sangat disiplin tapi peraturan-peraturan itu sengaja ditegakkan agar penghuni asrama bisa mengontrol dirinya. Misalnya ada aturan setiap anak hanya boleh menggunakan uang sejumlah tertentu setiap minggu dan sisa uang yang dikirim orang tua mereka harus dikumpulkan di ketua siswa. Kelihatannya sangat membatasi tapi tujuan dari aturan ini agar tidak ada kesenjangan. Dan sebenarnya siswa boleh menggunakan uangnya yang lebih tadi tapi harus jelas peruntukannya dan harus disetujui di Rapat Besar.
Yang menarik lainnya, guru-guru di Sekolah Whyteleafe tidak pernah menghukum muridnya. Yang menghukum murid adalah murid lainnya sesuai kesepakatan saat Rapat Besar. Aturan ini dibuat agar murid yang nakal sadar kalau kenakalannya tidak merugikan guru-guru tapi merugikan murid lainnya. Sehingga setiap murid bisa sama-sama merasakan sesama dan tidak mementingkan ego.
Secara keseluruhan, saya suka dengan cerita ringan seperti ini. Selain mudah diikuti alurnya, nilai moral yang disampaikan begitu lugas dan jelas. Saya tidak kesusahan menangkap bagian-bagian pesan yang ingin disampaikan penulis. Ke depannya, saya akan melanjutkan series ini karena seseru itu.
Demikian ulasan saya kali ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!