Resensi Novel Roma - Robin Wijaya

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]



Judul:
Roma

Penulis: Robin Wijaya

Editor: Ibnu Rizal

Sampul: Jeffri Fernando

Penerbit: Gagas Media

Terbit: 2013, cetakan pertama

Tebal: x + 374 hlm.

ISBN: 9797806149


Review

Kalau kita sudah punya pasangan (pacar), boleh nggak kita suka sama yang lain?

Pertanyaan ini dijawab oleh penulis dengan menghadirkan dua tokoh utama bernama Leo dan Felice, yang keduanya saling suka tapi sayangnya mereka sudah punya pasangan masing-masing. Pasti membingungkan. Namun lebih bikin saya kesal karena Leo dan Felice sempat-sempatnya membuat momen berduaan selama di Bali, yang kemudian dilanjutkan di kota Roma.

Jalan berdua, ngobrol soal sejarah bangunan ikonik, saling bertukar cerita, tidak membuat yang mereka lakukan jadi super romantis meskipun latarnya sekelas kota Roma yang punya vibes romantis. Saya menganggapnya mereka sedang selingkuh. 

Keduanya sudah dewasa, harusnya paham bagaimana bertanggung jawab dengan perasaan dan komitmen pasangan. Tapi yang dilakukan Leo dan Felice justru melanggar itu. Bahkan sampai ciuman. Ambyar sudah sisi romantis di novel ini di mata saya.

Tapi konflik novel ini masih ada lagi yaitu soal anak dan ibu yang tidak akur. Felice tidak akur dengan mamanya gara-gara mamanya punya pacar baru yang diduga masih berstatus suami dari seseorang. Lha, kalau Felice menolak bentuk perselingkuhan, kenapa dia adem ayem dan menikmati momen berduaan dengan pria lain yang jelas-jelas kelakuannya ini akan menyinggung pacarnya juga.

Di luar dari konflik yang bikin saya kesal, saya cukup menikmati gaya bercerita Robin Wijaya yang menurut saya pas membawakan sisi indah kota Roma. Walau konsep ceritanya umum dipakai untuk series sebuah kota, melakukan jalan-jalan ke beberapa wisata terkenal di kota tersebut, namun bagi saya kota Roma dijelajahi dengan baik dan membawa pengetahuan baru. 

Novel ini juga kuat dalam pembahasan karya seni terutama soal lukisan. Ada yang menarik ketika penulis membandingkan respon masyarakat Roma dan Indonesia untuk gelaran sebuah pameran. Bagi masyarakat di Roma, pergi ke pameran itu menyenangkan, sedangkan untuk orang Indonesia, pergi ke pameran itu membosankan. Fakta sih, tapi tidak dijelaskan apa yang membuat perbedaan tadi. Apakah SDM kita yang belum terikat dengan seni? Atau apakah karena kegiatan pameran belum digaungkan dengan lantang untuk menyasar banyak orang?


Plot | POV | Gaya Bercerita | Penokohan

Novel ini menggunakan alur maju dengan menggunakan dua setting di dua negara; Indonesia dan Italia. Saya bisa membedakan suasana tempat ketika kedua tokoh berada di Bali dan di Roma, yang artinya detail untuk lokasi cerita sudah mumpuni bagi pembaca untuk membayangkan kondisinya. 

Kelemahan dari sisi plot di novel ini adalah tidak cukup informasi seruncing apa perseteruan Felice dengan mamanya saat pemicu konflik muncul karena memang tidak ada kilas balik momen itu. Harusnya ada bagian kilas balik dengan emosi paling puncak saat Felice menolak mentah-mentah ide mamanya yang memacari lelaki itu. Dengan begitu, pembaca akan ikut bersimpati dengan jalan pikiran Felice.

Karena menggunakan sudut pandang orang ketiga, pembaca jadi tahu lebih dalam soal isi hati dan pikiran kedua tokoh utamanya. Ini jadi senjata makan tuan, karena pembaca jadi tahu apa yang dilakukan kedua tokoh utama saat merasakan ketertarikan, jalan-jalan berdua, dan tidak menyesal atau merasa salah dengan yang mereka lakukan. 

Seorang Robin Wijaya selalu berhasil menyampaikan kisah racikan dengan menghanyutkan. Diksi yang digunakan tertata dan mewakili. Cukup informatif dan detail juga, mengingat konsep cerita jalan-jalan di sebuah kota butuh mengenalkan banyak sudut. 

Karakter yang diciptakan penulis sangat hidup. Felice Patricia: seorang staf KBRI yang ceria dan menyenangkan. Kemurungannya hanya karena alasan sang mama. Di luar itu dia sangat baik sebagai pekerja, kawan, dan pacar. Leonardo Halim: seniman lukis yang awalnya tampak cool, tapi bisa becanda juga kalau sudah dekat. Tidak punya masalah besar kecuali saat ia harus memilih antara Felice atau Marla. Buat saya dia agak kurang tegas bersikap sehingga mengulur-ulur kejujuran kalau dia sudah punya pasangan. Jangan-jangan Leo tipikal yang lumayanan sama perempuan, tapi entahlah. 

Ada beberapa karakter pendukung di novel ini: Francesco Mancini (seniman yang ajak Leo pameran di Roma), Marla (kekasih Leo), Tenny (teman apartement Felice), Anna (kakaknya Felice), mamanya Felice, dan ada beberapa karakter pendukung lain seperti teman-teman seniman Leo.


Petik-Petik

Dari kisah romansanya saya bisa menarik pelajaran untuk jangan bermain api di belakang pasangan. Bentuk tanggung jawab komitmen itu bukan sekadar menjaga pasangan saja, tapi harus bisa mengembalikan pasangan yang sudah tidak bisa dicintai lagi.

Sedangkan dari kisah ketidakakuran anak dan ibu, saya belajar untuk memaafkan seluas mungkin kesalahan orang tua karena mereka juga manusia biasa, pasti bisa melakukan kesalahan, dan kita harus sabar juga menghadapinya. Bagaimana pun orang tua itu sudah memiliki watak yang sudah terbentuk dan mengeras, sebelum kelihatan salahnya dimana, mereka kerap merasa benar terus. Jadi, berlatihlah dari sekarang kesabaran menghadapi watak mereka.


Cuplikan

  • Mereka yang mengerjakan sesuatu dari hati, karyanya akan memiliki jiwa (hal. 14)
  • Satu keburukan tidak pernah pantas untuk mengalahkan sepuluh kebaikan (hal. 127)
  • Manusia cenderung gemar membicarakan apa-apa yang mereka sukai, bukan? (hal. 196)


Penutup

Sebagai salah satu bagian dari series Setiap Tempat Punya Cerita (STPC), novel ini masih menarik dibaca. Bakal diajak ke beberapa lokasi ikonik yang ada di kota Roma. Cuman ya itu, buat saya ceritanya bikin misuh-misuh. 

Nah, sekian ulasan novel Roma karya Robin Wijaya. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!

0 komentar:

Posting Komentar