Resensi Buku Digital Minimalism - Cal Newport

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul:
Digital Minimalism

Penulis: Cal Newport

Penerjemah: Agnes Cynthia

Sampul: Suprianto

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Mei 2024

Tebal: xxiv + 360 hlm

ISBN: 9786020644691


Setelah membaca buku ini saya memutuskan untuk mencopot beberapa aplikasi seperti shopee, tokopedia, lazada, notion, ipusnas, dan facebook. Alasannya, saya ingin benar-benar menikmati keseharian saya. Karena saya akui, aplikasi-aplikasi tadi masuk ke golongan: yang membuang-buang waktu (ecommerce dengan game-nya) atau yang jarang saya gunakan.

Buku ini terbilang tebal tapi penulis merangkum pembahasannya hanya di dua bab besar; Fondasi dan Praktik. Kemudian mengerucut jadi tujuh sub bab yang isi pembahasannya bisa menohok kita semua.

Karena judulnya mengandung kata minimalis, seperti buku serupa lainnya, kita akan diajak untuk membuang segala yang tidak perlu. Tetapi di sini kita akan bicara soal teknologi, lebih spesifiknya ke ponsel.

Latar belakangnya adalah kita semua sudah ketergantungan dengan ponsel dan aplikasi-aplikasi yang berjubel. Banyak dari kita yang secara tidak sadar menggeser layar ponsel menonton hiburan hingga berjam-jam. Kita sedang dijajah oleh perusahaan aplikasi untuk berlama-lama di depan ponsel karena waktu kita adalah uang bagi mereka.

Dan penulis mengajak kita untuk melek pada penggunaannya. Ingat, penulis tidak meminta kita tidak menggunakan teknologi, tetapi hanya mengingatkan bagaimana kita bertanggung jawab memakai teknologi.

Yang paling utama dari saran penulis adalah dengan membersihkan diri dari keterhubungan kita dengan teknologi. Mengurangi atau melepaskan dulu selama beberapa hari, lalu lihat hasilnya, apakah kita akan kembali ke kebiasaan lama (main ponsel melulu) atau justru kita bisa mengurangi dan mulai memilih mana saja aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan.




Empat sub bab di bagian bab Praktik membuat saya lebih sadar kalau saya memang salah satu dari banyak orang yang main ponsel melulu. Ajakan untuk menyendiri membuat saya pengen lebih banyak menghabiskan waktu tanpa diganggu oleh siapa-siapa. Dan selama ini saya melakukannya dengan motoran, disamping saya memikirkan, merencanakan, mengaji diri, soal kehidupan yang sedang saya jalani. Di buku ini dikatakan tiga manfaat kesendirian adalah: ide-ide baru, pemahaman terhadap diri sendiri, dan kedekatan dengan orang lain.

Jangan menekan "like" pada postingan orang lain hanya untuk membuktikan kalau kita peduli. Penulis menyarankan untuk membuktikan kepedulian kita dengan berjumpa atau menelepon. Di kebiasaan ini saya bukan termasuk yang suka menekan like pada sosial media.

Kita harus memiliki waktu santai yang produktif. Ingat, rebahan sepanjang hari dengan ponsel di tangan bukan bentuk menikmati waktu santai. Banyak kegiatan santai yang lebih berkualitas daripada sekadar tiduran sambil memantau media sosial.

Isi di buku ini bukan hanya menata kita dalam menggunakan teknologi seperti ponsel tapi justru menyasar bagaimana kita bisa menikmati kehidupan yang membahagiakan.

Saya sangat merekomendasikan buku ini dibaca kita semua sebelum kita menyesal karena merasa kekurangan waktu setiap harinya. Padahal kita sendiri yang belum keluar dari jeratan ponsel yang selalu kita pantau setiap saat. Dan saya bakal membaca ulang buku ini karena banyak poin yang menarik dan patut diingat-ingat lagi.

Gara-gara banyak disebutkan di dalam buku ini, saya juga jadi pengen segera baca buku Walden karya Hendry David Thoreau yang kebetulan bukunya sudah ada di timbunan.


  • Teknologi-teknologi ini semakin lama semakin mendikte cara kita berprilaku serta yang kita rasakan, dan entah bagaimana memaksa kita menggunakannya lebih sering dari seharusnya, acap kali dengan mengorbankan kegiatan lain yang lebih bernilai bagi kita (hal. 9)
  • Biaya sesuatu adalah jumlah waktu dalam hidup yang kita bersedia tukarkan untuk mendapatkannya, segera atau dalam jangka panjang (hal. 49)
  • Kita mudah tergoda oleh keuntungan tak seberapa yang ditawarkan beragam program aplikasi atau layanan terbaru, tetapi kemudian lupa dengan harga yang harus kita bayarkan atas sumber daya terpenting yang kita miliki: menit-menit dalam hidup kita (hal. 53)
  • Apakah teknologi ini dapat langsung menopang sesuatu yang sangat benilai bagiku? Inilah satu-satunya syarat untuk mengizinkan perangkat tersebut masuk ke hidup anda (hal. 94)


Nah, sekian ulasan dan kesan saya untuk buku ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Resensi Novel Remedies - Trissella

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul:
Remedies

Penulis: Trissella

Editor: Dwi Ratih Ramadhany

Sampul: Orkha Creatives

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Oktober 2023

Tebal: 264 hlm.

ISBN: 9786020673509


Review

Gerry memendam rasa bersalah atas kehancuran keluarganya. Bunda lumpuh akibat kecelakaan saat dibonceng olehnya. Ayahnya menceraikan Bunda dan pergi karena kondisi Bunda yang tidak memungkinkan menjalankan perannya sebagai istri. Di susul Bunda memutuskan mengakhiri hidupnya. Beban ini terlalu berat. Gerry meninggalkan dunia Polo Air. Ia mulai merokok. Dan sejak kepergian Bunda, ia dihantui mimpi buruk setiap memejamkan mata.

Beruntung ia bertemu dengan Retha, salah satu teman sekolahnya dulu, yang kini satu sekolah dengannya. Pembawaan Retha yang cerewet dan berisik membuat Gerry antipati, meski sesekali ia bersyukur berada di dekatnya karena suara bawelnya bisa meredam suara gemuruh di otaknya. Peran Niko dan Farhan, teman sekelasnya, pun sangat membantu Gerry melewati masa-masa beratnya itu.

Setelah berbulan-bulan tidak ada kabar, bahkan ketika Bunda dimakamkan juga tidak hadir, Ayah Gerry muncul di hidupnya lagi. Rasa kangen dan marah bercampur. Mimpi buruk Gerry makin-makin bertambah. 

Novel ini membawa tema remaja dengan konflik anak yang jadi korban atas keputusan keliru dari orang dewasa. Perceraian itu umum di masyarakat, tapi sangat lucu sekali ketika Ayah Gerry tidak muncul saat Bunda meninggal karena waktu itu berbarengan dengan calon istrinya yang habis operasi usus buntu. Jelas ini keputusan paling salah bagi seorang ayah untuk anaknya yang sedang butuh-butuhnya didampingi.

Saya juga belum jelas kenapa Bunda memilih mengakhiri hidupnya padahal ia sadar kalau mereka hanya hidup berdua saja; Bunda dan Gerry. Pikiran pendek ini yang saya sebut keputusan paling salah juga. Karena sosok Bunda pernah mengucapkan sesadar-sadarnya kalau mereka akan melanjutkan hidup berdua sampai tua nanti. 

Gerry yang masih belum berdamai dengan masa lalunya membutuhkan dukungan dari orang sekitar. Ia beruntung memiliki Tante Nisa dan Om Irfan yang begitu peduli sampai-sampai mereka rela bergantian pulang kerja cepat agar Gerry tidak sendirian di rumah. Beruntung juga Gerry memiliki teman sekelas seperti Niko dan Farhan yang mau mengerti dengan misteri hidupnya dan tidak kepo. 

Dua orang dengan masalah serupa pasti akan terkoneksi secara perasaan. Ini yang membuat Gerry perlahan-lahan bisa akur dengan Retha yang menurutnya sangat menggangu. Yang membedakan keduanya, Retha sudah lebih bisa mengendalikan diri atas luka hatinya akibat perceraian orang tua, sedangkan Gerry masih bergulat dengan perasaan menyalahkan diri sendiri untuk keputusan perceraian orang tuanya.  


Plot | POV | Gaya Bercerita | Penokohan

Secara keseluruhan novel ini menggunakan alur maju dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Sepanjang ceritanya kita akan diajak mengikuti perkembangan Gerry yang dibantu Retha untuk berdamai dengan masa lalu. Dan ternyata prosesnya tidak mudah. Emosi kita bakal diaduk-aduk. Saya pun sampai hampir menangis di beberapa bagian, terutama kalau Gerry sedang terpuruk dan menyalahkan diri sendiri untuk semua kehilangan yang dialaminya.

Kak Trissella merajut ceritanya dengan diksi yang tidak bertele-tele. Ketika momen dramatis bisa dibuat dengan apik. Yang jadi ganjalan saya justru di lelucon para tokohnya yang susah dinikmati. Ini selera sih, saya lebih suka kekonyolan itu munculnya dari adegan para tokoh, bukan dari ucapan candaan.

Untuk para tokoh yang dimunculkan sudah sangat hidup dan membawa peran yang saling terkait. Gerry sebagai tokoh utama digambarkan beraura gelap, tertutup, dan ketus. Saya bersimpati dan mengerti kenapa Gerry bisa sebegitu memilukannya. Dan perubahan yang dialami Gerry pun cukup memuaskan karena penulis membangun hal itu dengan sangat sabar, tidak ujug-ujug berubah akibat satu momen. Retha sebagai tokoh utama kedua pun punya peran penting sebagai pembanding atas masalah yang dihadapi tokoh utamanya. Tipikal remaja yang cerewet, kepo, dan penuh empati. Perbedaan warna karakter ini yang membuat hubungan keduanya menarik diikuti. Dan bisa dibilang tipis sekali sisi romansa yang mau dibangun penulis, tapi saya sendiri masih samar melihatnya. 

Tokoh yang patut diacungi jempol tentu saja untuk Tante Nisa dan Om Irfan. Mereka pasangan yang tulus banget memperhatikan keponakan. Berusaha memahami Gerry yang sedang di fase susah diprediksi, secara emosi dan mentalnya belum stabil dan solid. Apalagi cara mereka berbicara dengan Gerry yang tidak menghakimi, tidak menyudutkan, tidak menambah beban pikiran, dan justru kelihatan sekali keduanya begitu bijak menghadapi remaja. Mereka sangat hati-hati sekali bersikap di depan Gerry.

Tambah meriah saja ceritanya dengan kemunculan teman-teman Gerry; Niko dan Farhan. Duo yang memahami posisi sebagai teman baik, tidak mau mengorek masalah Gerry, justru memahami situasi. Mereka lebih memilih menunggu Gerry yang mengutarakan dibandingkan harus kepo. Selain mereka, ada juga Reno (kakaknya Retha) dan Kendra (teman Retha).



Petik-Petik

Membaca novel ini membuat saya makin yakin kalau mental anak bisa dilihat dari kondisi di rumahnya. Jika keluarganya harmonis, akan lebih besar kemungkinannya membentuk mental dan sikap anak lebih baik. Tetapi jika orang tuanya tidak harmonis, anak-anaknya pasti akan terpengaruh, mental dan sikapnya bisa buruk.

Satu lagi, seberat apa pun masalah yang menimpa kita, semuanya harus dihadapi. Kalau kita merasa tidak sanggup berjuang sendirian, minta tolong orang sekitar kita. Saya yakin dan sudah membuktikan sendiri kalau di sekitar kita itu ada banyak orang-orang baik yang bakal membantu kita asal kita mau bercerita. 


Penutup

Saya ingin berterima kasih kepada Kak Trissella yang sudah menghadiahi saya novel bagus ini. Dan saya mohon maaf ternyata proses bacanya tidak cukup mulus sehingga baru saya ulas sekarang.

Oya, ini pengalaman kedua saya membaca buku Kak Trissella. Sebelumnya saya sudah membaca karya lainnya berjudul Heart Reset.

Saya merekomendasikan novel ini untuk kalian yang pengen nangis dan membayangkan gimana terlukanya ketika kita kehilangan orang tua tapi kita belum siap. Ada bagian-bagian ketika Gerry meratapi nasibnya dan itu makin bikin saya mengingat kalau saya harus lebih berusaha berbakti kepada orang tua mumpung mereka masih sehat.

Nah, sekian ulasan novel kali ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



Resensi Novel Roma - Robin Wijaya

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]



Judul:
Roma

Penulis: Robin Wijaya

Editor: Ibnu Rizal

Sampul: Jeffri Fernando

Penerbit: Gagas Media

Terbit: 2013, cetakan pertama

Tebal: x + 374 hlm.

ISBN: 9797806149


Review

Kalau kita sudah punya pasangan (pacar), boleh nggak kita suka sama yang lain?

Pertanyaan ini dijawab oleh penulis dengan menghadirkan dua tokoh utama bernama Leo dan Felice, yang keduanya saling suka tapi sayangnya mereka sudah punya pasangan masing-masing. Pasti membingungkan. Namun lebih bikin saya kesal karena Leo dan Felice sempat-sempatnya membuat momen berduaan selama di Bali, yang kemudian dilanjutkan di kota Roma.

Jalan berdua, ngobrol soal sejarah bangunan ikonik, saling bertukar cerita, tidak membuat yang mereka lakukan jadi super romantis meskipun latarnya sekelas kota Roma yang punya vibes romantis. Saya menganggapnya mereka sedang selingkuh. 

Keduanya sudah dewasa, harusnya paham bagaimana bertanggung jawab dengan perasaan dan komitmen pasangan. Tapi yang dilakukan Leo dan Felice justru melanggar itu. Bahkan sampai ciuman. Ambyar sudah sisi romantis di novel ini di mata saya.

Tapi konflik novel ini masih ada lagi yaitu soal anak dan ibu yang tidak akur. Felice tidak akur dengan mamanya gara-gara mamanya punya pacar baru yang diduga masih berstatus suami dari seseorang. Lha, kalau Felice menolak bentuk perselingkuhan, kenapa dia adem ayem dan menikmati momen berduaan dengan pria lain yang jelas-jelas kelakuannya ini akan menyinggung pacarnya juga.

Di luar dari konflik yang bikin saya kesal, saya cukup menikmati gaya bercerita Robin Wijaya yang menurut saya pas membawakan sisi indah kota Roma. Walau konsep ceritanya umum dipakai untuk series sebuah kota, melakukan jalan-jalan ke beberapa wisata terkenal di kota tersebut, namun bagi saya kota Roma dijelajahi dengan baik dan membawa pengetahuan baru. 

Novel ini juga kuat dalam pembahasan karya seni terutama soal lukisan. Ada yang menarik ketika penulis membandingkan respon masyarakat Roma dan Indonesia untuk gelaran sebuah pameran. Bagi masyarakat di Roma, pergi ke pameran itu menyenangkan, sedangkan untuk orang Indonesia, pergi ke pameran itu membosankan. Fakta sih, tapi tidak dijelaskan apa yang membuat perbedaan tadi. Apakah SDM kita yang belum terikat dengan seni? Atau apakah karena kegiatan pameran belum digaungkan dengan lantang untuk menyasar banyak orang?


Plot | POV | Gaya Bercerita | Penokohan

Novel ini menggunakan alur maju dengan menggunakan dua setting di dua negara; Indonesia dan Italia. Saya bisa membedakan suasana tempat ketika kedua tokoh berada di Bali dan di Roma, yang artinya detail untuk lokasi cerita sudah mumpuni bagi pembaca untuk membayangkan kondisinya. 

Kelemahan dari sisi plot di novel ini adalah tidak cukup informasi seruncing apa perseteruan Felice dengan mamanya saat pemicu konflik muncul karena memang tidak ada kilas balik momen itu. Harusnya ada bagian kilas balik dengan emosi paling puncak saat Felice menolak mentah-mentah ide mamanya yang memacari lelaki itu. Dengan begitu, pembaca akan ikut bersimpati dengan jalan pikiran Felice.

Karena menggunakan sudut pandang orang ketiga, pembaca jadi tahu lebih dalam soal isi hati dan pikiran kedua tokoh utamanya. Ini jadi senjata makan tuan, karena pembaca jadi tahu apa yang dilakukan kedua tokoh utama saat merasakan ketertarikan, jalan-jalan berdua, dan tidak menyesal atau merasa salah dengan yang mereka lakukan. 

Seorang Robin Wijaya selalu berhasil menyampaikan kisah racikan dengan menghanyutkan. Diksi yang digunakan tertata dan mewakili. Cukup informatif dan detail juga, mengingat konsep cerita jalan-jalan di sebuah kota butuh mengenalkan banyak sudut. 

Karakter yang diciptakan penulis sangat hidup. Felice Patricia: seorang staf KBRI yang ceria dan menyenangkan. Kemurungannya hanya karena alasan sang mama. Di luar itu dia sangat baik sebagai pekerja, kawan, dan pacar. Leonardo Halim: seniman lukis yang awalnya tampak cool, tapi bisa becanda juga kalau sudah dekat. Tidak punya masalah besar kecuali saat ia harus memilih antara Felice atau Marla. Buat saya dia agak kurang tegas bersikap sehingga mengulur-ulur kejujuran kalau dia sudah punya pasangan. Jangan-jangan Leo tipikal yang lumayanan sama perempuan, tapi entahlah. 

Ada beberapa karakter pendukung di novel ini: Francesco Mancini (seniman yang ajak Leo pameran di Roma), Marla (kekasih Leo), Tenny (teman apartement Felice), Anna (kakaknya Felice), mamanya Felice, dan ada beberapa karakter pendukung lain seperti teman-teman seniman Leo.


Petik-Petik

Dari kisah romansanya saya bisa menarik pelajaran untuk jangan bermain api di belakang pasangan. Bentuk tanggung jawab komitmen itu bukan sekadar menjaga pasangan saja, tapi harus bisa mengembalikan pasangan yang sudah tidak bisa dicintai lagi.

Sedangkan dari kisah ketidakakuran anak dan ibu, saya belajar untuk memaafkan seluas mungkin kesalahan orang tua karena mereka juga manusia biasa, pasti bisa melakukan kesalahan, dan kita harus sabar juga menghadapinya. Bagaimana pun orang tua itu sudah memiliki watak yang sudah terbentuk dan mengeras, sebelum kelihatan salahnya dimana, mereka kerap merasa benar terus. Jadi, berlatihlah dari sekarang kesabaran menghadapi watak mereka.


Cuplikan

  • Mereka yang mengerjakan sesuatu dari hati, karyanya akan memiliki jiwa (hal. 14)
  • Satu keburukan tidak pernah pantas untuk mengalahkan sepuluh kebaikan (hal. 127)
  • Manusia cenderung gemar membicarakan apa-apa yang mereka sukai, bukan? (hal. 196)


Penutup

Sebagai salah satu bagian dari series Setiap Tempat Punya Cerita (STPC), novel ini masih menarik dibaca. Bakal diajak ke beberapa lokasi ikonik yang ada di kota Roma. Cuman ya itu, buat saya ceritanya bikin misuh-misuh. 

Nah, sekian ulasan novel Roma karya Robin Wijaya. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!

Bebukuan Juli 2024


Halo, apa kabar?

Kali ini saya membuat tulisan bebukuan ini enggak terlambat sampai pertengahan bulan lagi. Sengaja saya dahulukan dulu karena di minggu terakhir bulan Juni kemarin saya mendapatkan momentum renungan soal perbukuan. Ada beberapa hal yang saya kaji ulang terkait kegiatan membaca buku dan urusan blogging di sini. Bagaimana pun saya merasakan ada masalah yang harus dibereskan agar antara membaca dan blogging bisa berjalan beriringan.

Tapi soal beberapa perbaikan yang bakal saya lakukan akan saya jelaskan di tulisan lain. Sengaja tidak dimasukkan di sini karena nantinya tulisan ini bakal kepanjangan.

Tanpa berlama-lama, saya langsung jabarkan Bebukuan Juli 2024 kemarin:

Bacaan Juli 2024

Walau sudah saya susun ada enam judul yang harus dibaca di bulan Juli, eh, yang berhasil dibaca hanya dua judul. Sebenarnya ada tiga, tetapi satu buku itu saya kesulitan membuat ulasannya.

1. Mao Mao & Berang-Berang: Penerbangan Ajaib ke Ujung Dunia karya Clara NG

2. Happiness Without Money karya Koike Ryunosuke


Koleksi Juli 2024



Saya masih membeli beberapa buku, apalagi kemarin ada acara Semesta Buku Gramedia yang diskonnya menggiurkan.

1. Bek karya Mahfud Ikhwan

2. Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

3. Membunuh Commendatore Jilid 1 karya Haruki Murakami

4. Membunuh Commendatore Jilid 2 karya Haruki Murakami

5. Kupikir Segalanya Akan Beres Saat Aku Dewasa karya Kim Haenam & Park Jongseok

6. Noise karya Daniel Kahneman, Olivier Sibony, Cass R. Sunstein

7. Amor Fati karya Rando Kim


Rencana Baca Agustus 2024



1. Roma karya Robin Wijaya

2. Negeri Yang Dilanda Huru-Hara karya Ken Hanggara

3. Harry Potter 1: Harry Potter dan Batu Bertuah karya J. K. Rowling

4. A Dog Called Money karya Bodo Schafer

5. 1Q84 Jilid 3 karya Haruki Murakami

***


Sekian rangkuman Bebukuan Juli 2024. Semoga di bulan Agustus 2024 ini saya bisa menyelesaikan rencana baca yang sudah dicanangkan. 

Kira-kira bulan Agustus ini apa bacan prioritas kamu?