Resensi Novel Titipan Kilat Penyihir - Eiko Kadono

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]


Judul: Titipan Kilat Penyihir

Penulis: Eiko Kadono

Penerjemah: Dina Faoziah, Junko Miyamoto

Editor: Juliana Tan

Ilustrator sampul: Staven Andersen

Ilustrator isi: Akiko Hayashi

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: April 2024

Tebal: 200 hlm.

ISBN: 9786020676777


Kiki sudah berusia 13 tahun dan dia sudah harus mengikuti tradisi penyihir untuk memulai hidup mandiri dengan meninggalkan rumah dan tinggal di suatu kota atau desa yang belum ada penyihirnya. Berbekal sihir mengendarai sapu terbang dan ditemani kucing hitam bernama Jiji, Kiki memilih Kota Koriko sebagai tempat ia akan belajar mandiri.

Di kota ini Kiki banyak terbantu oleh pasangan suami istri pemilik toko roti yang sudah mengijinkannya tinggal di gudang gandum. Dan Kiki memutuskan membuka jasa pengiriman dengan sebutan Titipan Kilat Penyihir dalam upaya melangsungkan kehidupan dan untuk membantu banyak orang di kota tersebut sehingga penilaian mereka terhadap penyihir tidak lagi keliru.

Satu tahun waktu yang dimiliki Kiki sebelum ia kembali pulang ke rumah orang tuanya. Dan semenjak membuka jasa Titipan Kilat Penyihir, Kiki bertemu dengan banyak orang yang membuatnya bertambah dewasa.

***


Rupanya novel Titipan Kilat Penyihir ini pernah diterbitkan di tahun 2006 dengan sampul yang lebih klasik. Dan menurut saya sampul yang lama itu lebih menarik. Tokoh Kiki kelihatan sekali sebagai penyihir yang masih remaja karena ilustrasinya lebih utuh sebadan-badan.



Novel Titipan Kilat Penyihir adalah novel remaja dengan tema penyihir. Gambaran penyihir di sini berbeda dengan cerita-cerita penyihir lain yang menampilkan tokoh seorang nenek menyeramkan, melainkan gadis muda bernama Kiki. Makanya setiba di Kota Koriko, banyak warga kota itu yang tidak percaya kalau Kiki seorang penyihir.

Kiki menjadi penyihir karena keturunan dari garis ibunya, Kokiri-san. Sedangkan ayahnya, Okino-san, hanya pria biasa yang gemar mendongeng. Pengetahuan baru buat saya, ternyata anak perempuan yang lahir dari orang tua penyihir akan diberikan pilihan untuk meneruskan jadi penyihir atau enggak, saat anak itu berusia sepuluh tahun. Setidaknya ada rentang waktu dua tahun untuk belajar dan mempersiapkan diri sebagai penyihir sebelum melakukan tradisi hidup mandiri pada saat si anak berusia 13 tahun.

Dan karena Kiki memulai hidup mandirinya bersama kucing hitam bernama Jiji, saya pun sempat bertanya-tanya, apa mereka akan terus bersama. Jawabannya ternyata kucing hitam itu akan berpisah dengan penyihir saat si penyihir sudah menemukan pasangannya. Kemungkinan sih pas Kiki menemukan suaminya. Oh, begitu...

Dari kisah Kiki yang menjalankan usaha Titipan Kilat Penyihir, kita bisa belajar tentang konsep Give and Take atau Memberi dan Menerima. Kiki akan dengan senang hati membantu siapa pun yang membutuhkan, terutama soal mengirim sesuatu, asal itu bukan hal buruk. Dan atas itu Kiki tidak mematok harus dibayar berapa atau dibalas apa, melainkan Kiki akan menerima apa pun yang diberikan. 


Penyihir harus tampak sederhana dan tidak menonjolkan diri (hal. 29)


Dalam salah satu tugas, Kiki diminta mengantarkan hadiah ulang tahun oleh pelanggan tapi tidak boleh menyebutkan siapa pengirimnya kepada si penerima. Dan setelah tugas ini selesai, Kiki hanya ingin dibayar dengan informasi reaksi kelanjutan si penerima hadiah. Kadang Kiki berpikir sesederhana itu.

Apa yang dilakukan Kiki menyimbolkan makna ketulusan. Tidak dipungkiri juga dalam membantu orang lain, sesekali akan merasa enggan dan malas. Apalagi jika tugas yang diminta pelanggan terasa berat untuk dilakukan oleh remaja seusianya. Namun ia tetap mengupayakan menyelesaikannya karena jika sudah berhasil Kiki merasakan perasaan senang.

Walau pun karakter Kiki di sepanjang buku digambarkan sebagai penyihir baik, tetapi sifat remajanya yang kerap menjengkelkan tetap disisipkan penulis. Ini membuat tokoh Kiki jauh lebih manusiawi. Misalnya saat ia melanggar membaca puisi dari pelanggan hingga kertasnya hanyut ke sungai, murni kecerobohan itu akibat dorongan rasa ingin tahu yang tinggi. Dia tahu kalau tindakannya buruk tetapi tetap saja dilakukan. Atau cara dia membentak kucingnya, Jiji, saat perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Kiki di momen ini terasa jahat sekali terhadap kucing yang sudah jadi temannya berpetualang.



Jangan suka terpaku pada penampilan luar. Yang terpenting adalah hati (hal. 26)


Dari kesalahan itu Kiki mau bertanggung jawab dengan mengakui dirinya yang salah dan memohon maaf. Semuanya menjadi pembelajaran yang membuat Kiki mengalami perubahan sifat lebih dewasa setelah setahun berlalu tinggal dan berinteraksi dengan warga di Kota Koriko.

Saya juga suka dengan keharmonisan keluarga Kiki. Apalagi waktu Kiki kembali ke rumah orang tuanya, benar-benar adegan mengharukan. Bisa dibayangkan setahun tidak ketemu lalu kemudian pulang dan bertemu dengan orang-orang yang disayangi. Kebahagiaannya pasti membuncah.


Punya tempat untuk pulang itu ternyata memang benar-benar menyenangkan ya (hal. 191)


Novel ini juga dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi manis yang akan membantu kita membayangkan beberapa adegan yang ada di ceritanya. Juga memberi hiburan tambahan di sela-sela deretan huruf-huruf.

Selain itu, buku tentang Kiki si penyihir ini ternyata berjumlah enam buku. Dan hanya buku pertama ini saja yang sudah dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia. Penasaran sih dengan cerita di buku lainnya, akan membahas Kiki berkegiatan apa lagi.

Secara keseluruhan novel Titipan Kilat Penyihir ini enak dibaca karena ceritanya yang ringan dan punya kisah petualangan yang seru. Meski pun keajaiban dari sihirnya tidak banyak, novel ini bisa direkomendasikan untuk mengenal dunia penyihir yang levelnya masih amatir.

Nah, sekian ulasan saya untuk novelnya. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!

6 komentar:

  1. Covernya emang cakepan yg lama ya. Kalau yg terbaru ini malah seperti buku anak-anak (kesannya). Btw, sudah lama penasaran dgn buku ini, kayaknya menarjk deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Kak Ratih, sampul baru memang kelihatan lebih berwarna tapi kurang berbicara gitu, hehe.

      Hapus
    2. Bener, setuju, lebih dapat cover yang lama. Kukira bakap cetak ulang pake cover lamanya. Cover baru ini terlalu "unyu" tapi malah kurang pas.

      Hapus
    3. Mungkin penerbit menimbang kemajuan zaman sekarang makanya dibuat lebih berwarna begitu.

      Hapus
  2. Wah udah kelar aja bacanya mas, saya ikut PO buku ini tapi malah belum kebaca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Segera dibaca Mas, sangat ringan bukunya.

      Hapus