Resensi Novel The Biscuits - Kim Sunmi

[ Ulasan di bawah ini adalah kesan pribadi saya setelah membaca bukunya. Semua poin berdasarkan penilaian sendiri sesuai selera pribadi. Terima kasih. ]

sampulnya menekuk pas baca, hehe


Judul: The Biscuits

Penulis: Kim Sunmi

Penerjemah: Dian Susanti

Editor: Grace Situngkir

Sampul: Tika Ardianti

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Terbit: Maret 2024

Tebal: iv + 180 hlm.

ISBN: 9786230057366


Novel The Biscuits ini menceritakan soal remaja 17 tahun bernama Seong Jesung yang bisa mendeteksi keberadaan Biskuit melalui suara berkat penyakit Obsesif-Compulsif Disorder (OCD) suara, hiperakusis, dan fonofobia, yang dideritanya. Penyakit ini membuat Jesung bisa mendengar suara sekecil apa pun.

Biskuit sendiri adalah istilah untuk orang-orang yang eksistensinya terus turun sehingga sosoknya jadi buram dan bisa sampai tidak terlihat. Biasanya ini terjadi karena orang tersebut mengalami perundungan, diabaikan, dan disepelekan. 

Pada satu momen ketika Jesung menginap di villa Bibinya, ia mendengar suara biskuit di lantai atas tetangganya. Namun saat digeledah bersama polisi, tidak ditemukan sosoknya. Merasa biskuit itu sedang dalam kondisi parah, Jesung merencanakan menolongnya dengan bantuan dua temannya: Deokhwan dan Hyojin. Rencananya pasti akan melanggar peraturan dengan memasuki properti orang lain tetapi tidak ada jalan lain.

***


Setelah membaca novel ini, saya merasa suka dengan konsep ceritanya yang berbeda dari kebanyakan. Banyak hal baru yang saya ketahui dari novel ini.

Jesung mengidap tiga sakit sekaligus: Obsesif-Compulsif Disorder (OCD) suara, hiperakusis, dan fonofobia. Sederhananya, pendengaran Jesung jadi super sensitif. Beberapa suara yang menurut orang normal terdengar biasa saja, bagi Jesung bisa sangat mengganggu. Contohnya suara tombol pulpen yang dimainkan berkali-kali atau suara ketukan pulpen di meja yang berulang-ulang. Bahkan Jesung bisa mendengar suara lirih anak kecil yang menangis tertahan di lantai atas vila Bibinya, yang justru tidak bisa didengar oleh Bibinya.


Hiperakusis: Penurunan toleransi suara terhadap suara lingkungan biasa. Penderita menggambarkan pengalaman suara yang awalnya normal menjadi tidak menyenangkan, menakutkan, dan menyakitkan.

Fonofobia: Ketakutan, kemarahan, atau kecemasan ketika mendengar suara-suara tertentu yang memicu emosi negatif.


Biskuit sendiri adalah istilah untuk orang-orang yang eksistensinya kurang dirasakan oleh masyarakat atau lingkungan sekitar. Fenomena ini bisa terjadi kepada siapa pun. Dalam kehidupan nyata pun kita pasti pernah mendapati seseorang yang kehadirannya enggak terasa tapi mereka ada. Biasanya kita baru sadar keberadaannya ketika mendapat kabar kalau dia meninggal atau mengalami sesuatu. Cuma di novel ini dibumbui fantasi dengan menggambarkan sosok biskuit menjadi samar-samar bahkan berubah transparan.

Biskuit digolongkan menjadi tiga tahap sesuai ciri-ciri kondisinya. Tahap pertama disebut terbelah dua dan dicirikan eksistensinya tidak terasa walaupun sosoknya terlihat. Tahap kedua disebut kondisi terpecah belah dengan ciri kehadirannya tidak stabil dan mereka biasanya tidak bisa melindungi diri sendiri karena lemah. Tahap ketiga disebut kondisi hancur berkeping-keping dengan ciri mereka hampir menghilang karena sudah tidak ada sisa eksistensinya di dunia.

Seseorang jadi biskuit karena mereka diremehkan, dirundung, bahkan diabaikan. Hyojin pernah berada di tahap ketiga karena ayahnya ternyata sibuk dan tidak memperhatikannya. Ditambah saat itu Hyojin bersedih karena kehilangan ibunya sehingga kesedihan dan pengabaian itu menyebabkannya perlahan-lahan menjadi biskuit.

Contoh lain adalah Perawat Park yang jadi biskuit karena ia kerap dirundung dan dimintai tolong menggantikan jadwal shift. Perawat Park tidak pernah menolak permintaan rekan lainnya. Ada keinginan untuk memberontak namun Perawat Park tidak berani. Dan karena hal ini ia makin jadi pendiam dan menutup diri, sehingga ia pun berubah jadi biskuit.

Josse atau Lee Jian pun menjadi biskuit karena dia anak kedua atau anak tengah. Perhatian orang tuanya sudah tercurah untuk kakaknya yang akan masuk perguruan tinggi dan untuk adiknya yang masih kecil yang butuh lebih banyak pengawasan. Sehingga Lee Jian terabaikan dan dia menanggung kesedihan sendirian.

Seseorang yang jadi biskuit bisa kembali normal asal dibantu oleh keluarga, teman, rekan kerja, atau siapa pun, yang bisa membuatnya percaya diri kalau dirinya berharga di dunia ini. Memotivasinya merupakan salah satu cara memulihkannya. Itu juga yang dilakukan Jesung kepada biskuit yang dia temui.

Setelah membaca novel ini kita diingatkan untuk bisa menumbuhkan rasa percaya diri, mencintai diri sendiri, dan mau tak mau kita harus punya kemampuan untuk bisa mengungkapkan apa yang kita pikir dan rasakan. Yang perlu diingat juga, orang lain tidak bisa mengetahui keadaan kita, apalagi untuk menolong kita, makanya kita perlu mengkomunikasikan jika memang kita butuh diperhatikan atau perlu didengarkan.

Tema keluarga dan pertemanan sangat kental di sini. Sub konflik pun berpusar di dua hal itu. Interaksi Jesung dan ayahnya. Interaksi Jesung dengan teman-temannya. Ini yang membuat novel ini terasa ringan tapi menyenangkan. Apalagi secara tipis-tipis penulis juga menyisipkan tema romansa yang malu-malu gitu. Bikin makin gregetan.

Karakter yang muncul memang tidak banyak, termasuk para biskuit yang ditemukan Jesung, tetapi untuk tokoh-tokoh pentingnya punya penggambaran yang jelas dan bulat. Saya bisa membedakan antara masing-masing tokoh dengan sifat-sifatnya. Karakter favorit tentu saja Kak Changsung, biar urakan dan menyebalkan tapi kayaknya dia tipe orang yang seru buat dikenal. 

Saya merekomendasikan novel ini dibaca untuk pembaca remaja. Semoga buku ini bisa menumbuhkan karakter mereka di tengah fase mencari jati diri. Terutama rasa percaya diri yang harus dimiliki agar jangan sampai terjebak seperti biskuit.

Sekian ulasan saya untuk novel ini. Terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!


0 komentar:

Posting Komentar