Judul buku : 86
Penulis : Okky Madasari
Ilustrasi & desain sampul : Restu Ratnaningtyas
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit : April 2014 (cetakan kedua)
Tebal buku : 256 hlm
ISBN : 9789792267693
Blurb.
Apa yang dibanggakan dari pegawai rendahan di pengadilan? Gaji bulanan, baju seragam, atau uang pensiunan?
Arimbi, juru ketik di pengadilan negeri, menjadi sumber kebanggaan bagi orangtua dan orang-orang di desanya. Generasi dari keluarga petani yang bisa menjadi pegawai negeri. Bekerja memakai seragam tiap hari, setiap bulan mendapat gaji, dan mendapat uang pensiun saat tua nanti.
Arimbi juga menjadi tumpuan harapan, tempat banyak orang menitipkan pesan dan keinginan. Bagi mereka, tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan.
Dari pegawai lugu yang tak banyak tahu, Arimbi ikut menjadi bagian orang-orang yang tak lagi punya malu. Tak ada yang tak benar kalau sudah dilakukan banyak orang. Tak ada lagi yang harus ditakutkan kalau semua orang sudah menganggap sebagai kewajaran.
Pokoknya, 86!
Ide cerita.
Sebelum membahas soal isi novelnya, saya mau cerita bagaimana saya bisa mendapatkan novel bagus ini. Saya diberi tahu oleh rekan kantor kalau di Grage Mall Cirebon sedang ada obral buku di atriumnya. Balik kerja saya langsung berburu. Dan hasilnya saya memperoleh 3 judul novel dengan harga 40rb saja. Salah satunya novel 86 ini.
Kalau membaca blurb-nya, saya memang tidak paham konflik apa yang mendominasi cerita. Dari judulnya saja saya sudah bingung, 86 tuh nunjuk ke apaan. Yang saya tahu hanya 69 (mesum, hehe). Namun begitu mulai membaca saya mulai paham cerita merujuk pada fenomena negeri yang bukan lagi rahasia, korupsi. Melalui tokoh Arimbi, pembaca akan ditunjukkan jika korupsi ini bukan untuk para pejabat saja dan bukan untuk nominal puluhan juta atau sampai milyaran saja. Lebih luas dan halus bagaimana praktik korupsi ini berlangsung di kehidupan sehari-hari. Contohnya, pada jaman itu penumpang kereta bisa naik kereta tanpa tiket asal bayar ke petugas pemeriksa tiket. Lucunya lagi, saat Arimbi hendak menikah, persyaratan surat nikahnya pun bisa dipermudah asal ada pelicin. Ada juga praktik pungutan liar bagi pembesuk tahanan di penjara. Penulis sangat blak-blakan memberi gambaran korupsi kecil yang berlangsung di kehidupan sehari-hari. Miris.
Apa yang dipaparkan penulis memang kasus nyata. Sehingga, itulah kekuatan utama novel ini. Pembaca akan langsung hanyut sebab ceritanya memang mengena dan mudah diiyakan. Garis lurusnya, Arimbi malang melintang dengan kebodohannya yang ikut-ikutan dengan fenomena yang seharusnya ia hindari. Rakus, saya kira tidak keliru untuk menyebut sosok Arimbi. Meski sudah dibui pun, Arimbi masih menikmati praktik 86 ini. Agar lebih jelasnya bagaimana Arimbi berlari dengan kejamnya Jakarta dan dunianya, sok langsung saja berburu novelnya di toko buku terdekat.
POV. Plot. Gaya bercerita. Karakter.
Novel ini memakai POV orang ketiga. Sudah pasti pilihan aman ketika penulis ingin menjelaskan cerita dari berbagai sudut. Sebab saya menangkap apa yang dipaparkan penulis bukan melulu yang bersinggungan dengan si tokoh utama. Contohnya, kasus suap untuk menjadi pamong desa, penulis menjelaskan melalui percakapan antara Arimbi dan teman SMP-nya. Untuk plot secara umum menggunakan plot maju. Jika ada kilas balik pun sebatas narasi. Ini memberi ruang perkembangan cerita tidak diganggu dengan kilas balik tersebut. Dan bagaimana penulis bercerita, sudah sangat baik dan saya melihatnya "beginilah ciri terbitan Gramedia". Baku dan menghanyutkan.
Arimbi. Polos, hanya karena lingkungan ia berubah menjadi rakus. Ananta. Baik, pendukung yang handal dan pekerja keras. Bu Danti. Khas ibu-ibu sosialita yang korupsi. Ada banyak karakter yang muncul namun semuanya kebanyakan hanya pendukung bagian cerita saja. Sebab penulis membagi cerita korupsi menjadi bagian-bagian kecil sesuai kasusnya. Bagian-bagian itu kemudian dihubungkan melalui keterlibatan Arimbi. Sehingga beberapa tokoh memang akan menghilang ketika kasus berpindah ke bagian yang lain.
Adegan favorit.
Pada halaman 243-245 digambarkan anak Arimbi bertingkah tidak biasa. Si anak terus menangis. Sampai akhirnya Arimbi mendapatkan kabar kalau ibunya meninggal, si anak mulai tenang, dan Arimbi yang menangis.
Petik-petik.
Sangat lugas pesan novel ini; "Korupsi itu perbuatan buruk dan akibatnya buruk juga".
Cuplikan.
Terlalu banyak sehingga saya lupa menandai karena asyik mengikuti cerita.
Final. Rating.
Siapa saja harus baca buku ini karena bermuatan bagus. Akhirnya, saya memberikan rating 4,5 dari 5.
Jawab ya!
Apa pendapat kalian tentang praktik korupsi?
Mampir aja mas...reviewnya mantap dah
BalasHapusSalam kenal
Salam kenal juga ya... Terima kasih sudah mampir hehe
Hapus